Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Menulis atau Menguburkan Gagasan?

May 7, 2025 12:43
IMG_20250507_124124

Oleh : Albertus Muda *)
HATIPENA.COM – Sebuah pertanyaan sekaligus gugatan untuk seorang pendidik, entah guru, dosen maupun guru besar. Ini tidak main-main. Olehnya, seorang pendidik mesti menjadi seorang penulis. Seorang pendidik mesti memiliki kebugaran ide dan stamina kepenulisan yang mengagumkan.

Deskripsi di atas saya temukan pada beberapa pendidik dan guru besar. Salah satunya adalah Bapak Stefanus Kartono yang dalam karya-karyanya biasa menggunakan nama pena St. Kartono. Ia bukan hanya seorang penulis, tetapi pribadi yang selalu terbuka berbagi ide dan gagasan bahkan memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

Saya tak menjumpainya langsung. Tahun 2023 silam, saat beliau diundang untuk menjadi salah satu narasumber dalam seminar menyambut Dies Natalis SMPK St. Gabriel Larantuka, kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), saya berniat mengikuti seminar tersebut agar bisa menjumpainya langsung. Sayangnya saya tidak bisa menggapai mimpi tersebut karena alasan finansial. Iya, maklum masih berstatus guru honor.

Perjumpaan virtual kami bermula saat beliau mengomentari status salah seorang guru penulis di kabupaten Flores Timur (Flotim) yang cerpennya dimuat di kompas cetak dengan judul “Perihal Pulang” dengan nama pena Beatrix Polen Aran. Saat melihat namanya nongol di kolom komentar, saya tak menunggu lama memintanya berteman. Syukurlah bahwa beliau juga mengonfirmasi permintaan saya.

Komunikasi pun terbangun. Saya mengungkapkan kerinduan bertemu langsung agar bisa berbagi dan juga ingin sekali membaca buku-buku karyanya karena di tangan saya hanya buku berjudul, “Sekolah Bukan Pasar” yang ditulisnya beberapa tahun silam. Bermula dari diskusi via kolom chat akhirnya saya memberanikan diri meminta agar beliau bisa menshare nomor wa-nya kalau berkenan. Beliau pun mengiyakan.

Saya tentu sangat kagum saat membaca karya-karyanya. Saat membaca tulisan terakhir yang beliau posting di akun facebook, saya semakin tergugah dan penasaran untuk mendapatkan buku-buku karyanya. Postingan buku baru di laman akun facebooknya yang berjudul, “Menjadi Guru Berjiwa Merdeka” mendorong saya untuk bisa memiliki buku tersebut.

Saya hanya menyampaikan bahwa jika saya telah menabung satu dua sen untuk membeli buku, maka buku yang beliau tulis di atas akan saya pesan. Jawaban beliau membuat saya kaget dan terharu. Apa jawaban beliau? “Untuk apa mas guru menunggu sampai ada uang. Kirim saja alamat lengkap mas guru agar saya kirimkan satu dua buku untuk bisa dibaca”, demikian ia membalas pernyataan saya.

Jawaban di atas, mengingatkan saya pada salah seorang pastor (imam Katolik) bernama Pater Pice Dori Ongen,SVD yang juga pernah mengirimkan saya buku karyanya tanpa saya membayarnya. Demikian juga kakak dosen Dr. Yoseph Yapi Taum yang pernah membeli buku baru dan mengirimkan kepada saya beserta salah satu buah karyanya dari Kota Pendidikan Yogyakarta. Tentu ini sebuah pengalaman yang tidak biasa, tetapi luar biasa. Di era sekarang ini ketika setiap orang berlomba mencari keuntungan, masih ada yang mau bersedekah.

Saya pun mengirimkan alamat sekolah. Seminggu kemudian saat beliau memosting tulisannya tentang Kartini yang diterbitkan harian Kedaulatan Rakyat, saya mengambil kesempatan mengomentarinya. Beliau membalas dan menyampaikan bahwa buku telah beliau kirim ke alamat saya.

Pada suatu kesempatan saat hendak keluar dari pintu gerbang sekolah, langkah saya dihentikan oleh salah seorang staf jasa pengiriman yang menanyakan nama penerima kiriman dengan alamat SMA Negeri 2 Nubatukan. Saya langsung menerima kiriman itu dan dugaan saya benar bahwa kiriman itu adalah buku yang dikirim bapak St. Kartono.

Saya mendapatkan dua buku tanpa mengirim mahar dan ongkos kirim. “Menjadi Guru Untuk Muridku dan Menjadi Guru Berjiwa Merdeka” adalah karya-karya bapak St. Kartono yang terus menyuarakan tentang sekolah, pendidikan dan kemanusiaan.

Semua ini berkat komunikasi yang terjalin dari hati bukan sekadar basa basi. Tentu ucapan terima kasih kepada Bapak St. Kartono untuk hatinya yang telah tergerak, untuk cinta yang telah dibagikan, untuk pikiran yang telah disebarkan dan untuk buku yang telah dikirimkan.

Menulis adalah jalan untuk terus memberi arti bahwa guru tetap hidup dalam pikiran-pikiran sederhana, bernas dan kaya sehingga memperkaya pembaca untuk semakin kaya demi menghasilkan karya baru untuk pembaca yang lain. Para pendidik mesti menjaga agar tidak sampai mengalami kematian dalam berpikir.

Guru harus menjadi penyala peradaban. Agar dunia akademis tidak suram karena keengganan guru untuk menulis dan mempublikasikan karya untuk mendidik publik pembaca. Jangan berhenti menulis agar gagasan tidak dianggap mati ditimbun onggokan apatisme dan lemahnya kreativitas dan hilangnya inovasi. (*)

Salam literasi

*) Guru SMA Negeri 2 Nubatukan, Kabupaten Lembata, NTT