Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Menunggu “Kehadiran” Negara

March 10, 2025 06:16
IMG-20250310-WA0030

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Di pulau surga yang diidamkan dunia ini, kini berhadapan dengan paradoksnya sendiri.

Sebentar lagi, tanggal 29 Maret, umat Hindu akan memasuki Catur Brata Penyepian. Di hari yang sama, Tumpek Wariga turut dirayakan, mengingatkan manusia untuk menjaga kelestarian alam.

Sebelum heningnya Nyepi, ada Melasti, Pangerupukan, lalu Sipeng—tahapan sakral dalam perjalanan rohani.

Namun, di balik keheningan yang didambakan, ada kegaduhan yang tak pernah surut: harga sarana upacara yang tak stabil dan cenderung terus melambung.

Purnama Kedasa pada 12 April, Rainan Gede menanti dengan segala kelengkapannya. Tak lama berselang, Sugihan Jawa dan Bali pada 17-18 April menjadi pembuka sebelum Galungan tiba pada 23 April, lalu Kuningan pada 3 Mei.

Rangkaian hari suci ini tak hanya menguji keimanan, tetapi juga kesabaran umat dalam memenuhi sarana upacara.

Agama mengajarkan cukup dengan bunga, air, dan api. Namun, adat dan tradisi telah menjadikan sarana upacara lebih dari sekadar simbol.

Maka itu, busung (janur), selepahan, bunga, buah, jajan banten, hingga daging babi menjadi kebutuhan yang tak bisa dielakkan.

Dan inilah ironi yang terus berulang: setiap kali hari suci tiba, harga cenderung melonjak, kadang tak terkendali. Barangnya pun sulit dicari.

Busung mahal, harga pisang melangit, daging babi meroket. Barang yang seharusnya menjadi penunjang spiritual justru menjadi beban ekonomi.

Fluktuasi harga ini makin menegaskan bahwa banyak bahan upacara didatangkan dari luar Bali.

Busung Sulawesi kini telah menjadi “busung Bali,” menggantikan janur asli yang sulit diperoleh di Bali.

Pisang dari Lombok dan Jawa menyuplai kebutuhan ritual di tanah dewata. Saking tingginya kebutuhan janur di Bali, membuat di Banyuwangi, janur dilarang untuk dipetik. Ini memberikan arti, betapa mahalnya janur sebagai bagian dari sarana upakara di tanah Dewata.

Di tengah hiruk-pikuk kebutuhan ini, tak lain didambakan adalah “hadirnya” negara.

Saat Idul Adha, petugas kesehatan rutin memeriksa hewan kurban, memastikan daging yang dikonsumsi layak dan sehat. Namun, di Bali, di mana hampir seluruh umat Hindu membutuhkan daging babi untuk Galungan, belum pernah terdengar ada pemeriksaan kesehatan babi secara menyeluruh. Apakah daging yang dikonsumsi sudah bebas dari penyakit? Tidak ada yang benar-benar tahu.

Lalu, bagaimana dengan jajanan banten? Brem tabuh yang tak bisa diminum, permen banten yang entah dibuat dari apa, rokok banten entah apa di dalamnya, hingga dupa yang mungkin mengandung bahan kimia berbahaya.

Asap dupa yang dihirup setiap kali sembahyang seharusnya suci, bukan justru berbahaya bagi kesehatan.

Sayangnya, tak pernah ada pengawasan, tak juga ada regulasi guna memastikan kesehatan barang-barang itu.

Ketika Bali ingin mempertahankan keseimbangan antara spiritualitas dan ekonomi, tata kelola harus ada soal barang-barang upakara itu.

Pemerintah daerah semestinya berpikir lebih jauh, menghadirkan solusi agar umat Hindu yang mayoritas di Bali bisa beribadah dengan tenang. Perusda atau perusahaan bentukan lain bisa ditugaskan untuk memastikan pasokan busung, pisang, dan bahan upacara tersedia dengan harga wajar.

Demikian juga pemeriksaan kesehatan babi sebelum Galungan harus menjadi standar agar masyarakat terhindar dari penyakit yang mungkin ditimbulkan sebagaimana pemeriksaan hewan kurban yang begitu apik, jajanan, saur kacang dan bahan-bahan yang dipakai sarana bebantenan mestinya dilakukan pemeriksaan juga sebagaimana layaknya BPOM yang rajin melakukan pemeriksaan atas jajanan saat berbuka puasa.

Jangan biarkan umat Hindu terus terjebak dalam paradoks: menjalankan ritual suci dalam keterpaksaan ekonomi. Jangan biarkan Bali yang kaya budaya justru kehilangan identitasnya karena keterbatasan sumber daya.

Bukankah jika upacara lancar, doa-doa pun mengalir untuk kemakmuran Bali, untuk menjadikan Bali kembali tenget? Maka, saatnya negara benar-benar hadir, bukan sekadar menjadi penonton dalam kesakralan yang terus diuji oleh kenyataan.(*)

Denpasar, 10 Maret 2025