HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Menyingkap Literasi dan Potret Gen-Z Lampung

September 21, 2025 12:58
IMG_20250921_125719

Pembangunan Literasi dan Tantangan di Era Digital (1)

Oleh Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Diksi generasi-z sering singgah di telinga kita. Kelompok manusia ini, lahir, tumbuh, dan berkembang di tengah derasnya arus digital. Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi ini terbiasa mencari informasi melalui google.

Jika diperhatikan, jari jempol mereka begitu cepat bergerak di layar gadget. Mulai dari mengerjakan PR, seperti matematika, fisika, hingga terjemahan bahasa internasional ke bahasa Indonesia. Semuanya bisa diselesaikan dengan sentuhan jari. Hanya dalam waktu lima detik, mereka bisa menemukan jawabannya.

Dengan perangkat digital, semuanya menjadi lebih praktis. Literasi pun menjadi mudah seperti membuat mie instan. Bahkan sekarang, kehadiran AI atau artificial intelligence makin memanjakan generasi ini, terutama dalam akses informasi. Namun di sisi lain, kemudahan ini justru berpotensi dapat menimbulkan gejala kemunduran kemampuan literasi bagi generasi-z atau yang biasa disebut gen-z.

Lalu apa tantangan pembangunan literasi di kalangan gen-z? Permasalahan utama terletak pada daya tahan mereka dalam menghadapi bahan bacaan. Meski mereka sanggup menulis pesan di Whatsapp berjam-jam, namun ketika melihat buku tebal, mereka menyerah. Belum lagi kemampuan menulis untuk menumpahkan gagasan dan ide.

Fenomena salin-tempel atau copy-paste juga kian lazim. Aktivitas menulis yang seharusnya menjadi proses berpikir dan mengolah ide dan gagasan, bergeser menjadi sekadar menyalin yang sudah tersedia. Akibatnya, banyak pelajar kehilangan kesempatan untuk melatih keterampilan menata kalimat, merangkai argumen, serta mempertajam nalar.

Potret Literasi Kekinian

Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) di Lampung, berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2024, menunjukkan kondisi yang beragam. Dari 15 kabupaten/kota, Kabupaten Lampung Timur mencatat skor terendah yakni 45,11.

Sebaliknya, Kota Metro menempati posisi tertinggi dengan skor 94,41, sekaligus menjadi teladan dalam pengembangan literasi. Tetapi secara umum, tingkat IPLM provinsi ini rendah, yaitu 64,81. Skor ini sekaligus menunjukkan IPLM daerah Lampung di bawah rata-rata nasional, yaitu 73,75 atau setara dengan 15,49.

Namun, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Lampung yang mencapai 9,3 juta jiwa dan civitas sekolah sebanyak 1,8 juta lembaga, seharusnya potensi literasi lebih besar dari kondisi aktual. Tingkat Kegemaran Membaca (TKM) siswa masih rendah, hanya 67,67. Nyaris mendekati zona merah.

Kebiasaan dan Perubahan Pola Perilaku

Fakta di lapangan menunjukkan, para gen-z lebih sering membawa gawai untuk push rank Mobile Legend ketimbang membawa buku ke perpustakaan. Jarang terlihat para gen-z membawa buku, tetapi yang lebih sering justru membawa powerbank agar baterai gawainya tidak habis.

Perubahan pola bermain makin terlihat jelas. Jika dahulu anak-anak berisik dengan suara bertengkar atau bermain bersama, kini mereka lebih sering duduk diam di sudut kamar, wajah mereka bersinar oleh layar handphone. Mereka seperti asik sendiri, seolah dunia nyata tidak lagi menarik.

Tak dapat dipungkiri, teknologi membawa banyak manfaat. Namun tanpa kecakapan literasi, teknologi hanya menciptakan ketergantungan. Gen-z tumbuh dalam lingkungan yang berbeda dari generasi sebelumnya, yaitu serba cepat, praktis, instan, tetapi dangkal dalam kemampuan literasi.

Kondisi ini perlu diwaspadai, karena literasi tidak bisa sekadar dimaknai sebagai keterampilan membaca, melainkan juga kemampuan menulis, memahami, dan mengkritisi. Jika tidak, maka generasi yang lahir antara tahun 1995–2012 ini, akan menjadi konsumen informasi yang pasif. (bersambung)