Catatan Kritis untuk Dewan Pendidikan (1)
Oleh: Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Mulai tahun ini, pemerintah mencanangkan wajib belajar 13 tahun. Gagasan ini kelihatannya seperti ingin menunjukkan sebuah visi besar negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai amanat konstitusi. Sebelumnya, pemerintah sudah mencanangkan wajib belajar 9 tahun, kemudian nambah menjadi 12 tahun, lalu sekarang tambah setahun lagi: mulai dari pendidikan anak usia dini sampai menengah atas.
Secara konseptual, gagasan ini terasa sangat mulia. Tetapi dalam praktiknya, program ini justru seperti soal ujian sastra yang indah di baca, tetapi sulit untuk dijawab dan sukar dipentaskan di atas panggung opera.
Di Lampung, misalnya, dilema pendidikan bukan hanya sekadar durasi wajib belajar, melainkan soal siapa yang akan menanggung biaya operasional pendidikan? Gubernur Rahmad Mirzani Djausal sudah dengan tegas melarang sumbangan komite sekolah karena pungutan ini dinilai membebani orang tua murid.
Larangan ini tentu saja disambut gembira oleh masyarakat dan sejalan dengan keinginan untuk memperoleh pendidikan gratis. Tetapi di ruang kelas, kepala sekolah seperti mendapat “surat peringatan” karena bingung harus mencari sumber dana lain guna menutupi biaya operasional.
Sejak lama, sumbangan komite menjadi pintu darurat bagi sekolah. Karena dengan dana itu, para pelajar SMK, seperti jurusan tata boga, misalnya, bisa melakukan praktik memasak dengan bahan yang cukup dan layak. Tetapi kini, tanpa pungutan, praktik membuat kue ulang tahun berisiko bantat karena persediaan tepung hanya seadanya.
Begitu juga dengan siswa di jurusan busana, mereka bisa saja berlatih menjahit, tetapi hanya sebatas membuat sapu tangan, karena ketiadaan bahan. Sedangkan pelajar di STM jurusan otomotif, terpaksa praktik bongkar pasang becak rongsokan, bukan mesin sepeda motor atau mesin mobil.
Lalu ada dana BOS (biaya operasional sekolah) yang diharapkan bisa menjadi “penyelamat” malah lebih sering membuat “celaka”. Sudahlah jumlahnya terbatas, pencairannya pun kadang terlambat, dan penggunaan dananya sering terhambat dengan aturan yang ketat. Akibatnya, pihak sekolah kerap sekali harus mengatur strategi yang kadang membuat kepala sekolah gemetar dan bersimbah keringat dingin.
Sekarang wacana program wajib belajar 13 tahun sudah diumumkan, sebagian masyarakat menyambut dengan optimistis, seakan mendengar pengumuman kelulusan. Tetapi banyak pula yang khawatir, cemas dengan program ini akan berakhir seperti ujian akhir semester: nilainya bagus hanya di atas kertas, tetapi di lapangan penuh remedial.
Pendidikan anak usia dini memang penting. Hasil penelitian menunjukkan – secara kognitif dan sosial – bahwa anak yang mengikuti jenjang PAUD cenderung lebih siap ketika masuk SD. Tetapi, mutu PAUD masih beragam. Ada yang proses belajarnya sekadar absensi bermain tanpa kurikulum yang jelas, tetapi ada juga yang sudah terakreditasi dan dilengkapi dengan fasilitas.
Jika jenjang pendidikan PAUD masuk program wajib belajar, seharusnya pemerintah siap, melatih, membiayai, dan menggaji pendidik secara layak, bukan cuma sekadar memberi program.
Harus diakui, beban fiskal negara juga cukup berat. APBN sudah dipenuhi rencana pengeluaran, mulai dari infrastruktur sampai subsidi energi. Kalau wajib belajar 13 tahun dipaksa tanpa perencanaan yang matang, bisa jadi pemerintah justru kena teguran keras dari realitas, layaknya pelajar yang suka bolos dan akhirnya mengulang setahun lagi.
Sementara itu, wajib belajar 12 tahun yang sudah lebih dulu dicanangkan belum sepenuhnya dilaksanakan. Faktanya, masih banyak anak-anak di pelosok desa yang terpaksa putus sekolah karena kekurangan biaya, ada yang menikah dini, atau persoalan jarak tempuh ke sekolah. Karena itu, sepanjang masalah dasar ini belum diatasi, maka wajib belajar 13 tahun hanya menjadi “omon-omon”: nafsu besar, tenaga kurang.
Tak dapat disangkal, pemerintah memiliki dasar dan pertimbangan untuk merancang program pendidikan. Tetapi, kebijakan yang baik tentu tidak hanya dibunyikan dalam undang-undang atau dalam bentuk regulasi lainnya, melainkan juga membutuhkan kesiapan sumber daya manusia, pengawasan yang kuat, dan tentu saja konsistensi anggaran. Jika tidak, maka wajib belajar 13 tahun ini akhirnya hanya menjadi jargon politik.
Dalam konteks Lampung, gubernur melarang adanya pungutan komite sekolah memang patut diapresiasi. Namun larangan tanpa solusi sumber anggaran, “Ibarat guru yang menyuruh murid menyelesaikan soal ujian, tapi malah lupa membagikan lembar jawaban. Siswa pun bingung, mau mematuhi guru atau corat-coret di atas meja.”
Karena itu, sebelum program wajib belajar 13 tahun dijalankan, sebaiknya pemerintah menambah masa persiapan. Berikan pelatihan tambahan kepada guru PAUD, sediakan fasilitas belajar yang cukup, dan tentu saja tambahkan dana BOS agar operasional sekolah bisa dijalankan dengan baik. Jika tidak, maka program ini cuma menjadi “catatan kaki” sejarah pemerintah dalam kebijakan pendidikan.
Program wajib belajar 13 tahun, tidak sekadar menghambat putus sekolah pada usia belajar, tetapi juga memperkuat komitmen di mana negara benar-benar hadir. Jika anak-anak diwajibkan belajar sejak usia dini, maka negara juga wajib belajar, yaitu belajar mengelola anggaran dengan baik, belajar menepati janji, dan tentu saja belajar mendengar keluhan masyarakat. (*)
Bandar Lampung, 29 September 2025