Oleh: Dalem Tehang
HATIPENA.COM – Saat melihat Gilang memarkir sepeda motornya di garasi rumah, Dinda buru-buru mendekat.
“Gimana lomba pidatonya tadi, dek. Dapet juara nggak,” sapa Dinda.
“Adek nggak jadi ikut, mbak. Nggak dibolehin sama kepala sekolah,” sahut Gilang, sambil melepas helm dari kepalanya.
“Kok bisa gitu. Gimana ceritanya!” ucap Dinda, penasaran.
“Pas adek sampai sekolah, dikasih tahu kawan-kawan kalau disuruh ngadep wali kelas. Ya sudah, ngadeplah adek ke wali kelas. Dia sampein kalau perintah kepala sekolah, adek nggak boleh ikut lomba pidato,” Gilang mulai bercerita.
“Terus, adek nemuin kepala sekolah nggak?” tanya Dinda, makin penasaran.
“Waktu adek lagi ngobrol sama wali kelas, kepala sekolah nyamperin ke tempat kami. Di sampein kalau adek nggak boleh ikut lomba pidato,” lanjut Gilang.
“Apa alasan kepala sekolah ngelarang adek ikut lomba pidato itu?” Dinda bertanya lagi.
“Kata kepala sekolah, tadi subuh-subuh dia ditelepon bapaknya kawan adek satu kelas. Bapak itu minta supaya anaknya yang ngewakili kelas adek ikut lomba pidato dan harus dapet juara,” ujar Gilang lagi.
“Lah, apa urusannya bapak kawan adek itu kok ngatur urusan lomba pidato sampai segitunya,” Dinda nyeletuk dengan cepat.
“Bapak kawan adek itu pejabat, mbak. Masih atasan kepala sekolah gitulah pokoknya. Jadi, mau nggak mau kepala sekolah ya harus nurut,” tutur Gilang, dengan nada santai.
“Apa kata adek pas kepala sekolah suruh nggak boleh ikut lomba pidato, biar anak pejabat itu aja yang ngewakili kelas adek?” tanya Dinda, menatap wajah Gilang.
“Ya adek ikut ajalah, mbak. Mau apa juga. Adek malah kasihan sama kepala sekolah. Apalagi pas dia bilang; ‘Gilang, tolong ibu ya. Ini demi jabatan dan karier ibu. Selametin ibu ya, nak’. Denger dia ngomong gitu, nelongso jugalah adek lihatnya. Lagian kan adek sebenernya nggak pengen-pengen amat ikut lomba pidato, cuma karena kawan-kawan sekelas ngedukung, maka adek mau,” kata Gilang, panjang lebar.
“Aneh aja sih buat mbak. Masak urusan kayak gini mesti pakai kekuasaan juga,” ucap Dinda, menimpali.
“Kan sekarang ini emang dunianya kekuasaan, mbak. Kalau nggak punya kuasa apa-apa, mana ada yang mau nganggep kita,” tanggap Gilang, tetap dengan nada santai.
“Tapi ya nggak gitu juga kali, dek. Tetep ada etika dan norma yang harus dijaga,” sahut Dinda.
“Buat orang-orang tertentu, yang namanya etika dan norma emang masih dijaga, mbak. Karena itu bagian dari citra diri. Tapi buat kebanyakan orang, kan nggak gitu. Tinggal pinter-pinter kita aja ngejaga badan dan posisi di lautan penuh ombak ketidakpastian akibat kencengnya angin kekuasaan sekarang ini,” urai Gilang, sambil tersenyum kecut.
“Tapi kan, kalau kekuasaan sudah jadi pengatur dan pengukur atas segalanya, bahaya juga lo, dek. Bakal lahir pemimpin-pemimpin yang bodoh,” kata Dinda, setelah berdiam beberapa saat.
“Adek inget kata Jenderal Besar Soedirman, mbak. Kata dia; pemimpin yang bodoh itu lahir dari tangan pemilih yang bodoh. Jadi, kuncinya ya sama yang milih, mbak. Bukan sama yang dipilih,” sahut Gilang.
“Jadi, kalau kepala sekolah adek sampai ngelarang anak didiknya karena takut dengan kekuasaan bapak kawan adek, berarti yang milih dia jadi kepala sekolah itu yang bodoh, gitu dong,” ujar Dinda.
“Kalau ngikuti apa yang disampein Jenderal Besar Soedirman, ya kayak gitulah, mbak. Kalau ada pemimpin yang tega mutusin ratusan ribu warga berobat gratis, yang bodoh ya yang milih orang itu jadi pemimpin. Gitu juga kalau sampai aset puluhan kendaraan dinas nggak jelas adanya dimana, yang salah ya pemimpin yang milih orang buat ngurusi soal itu,” ujar Gilang, panjang lebar.
“Tapi emang, kalau sudah ngomongin kekuasaan, banyak orang lupa diri ya, dek. Kayak semuanya abadi aja. Nggak inget kalau ada akhirnya dan kehidupan pasti ngalami perputaran,” kata Dinda.
“Kalau kita mau belajar dari sejarah para tokoh, sebenernya sebesar apapun kekuasaan yang lagi dipegang, nggak bakal buat lupa diri kok, mbak. Masalahnya, sekarang ini kan banyak lahir pemimpin dadakan, yang secara mental belum teruji bener,” lanjut Gilang.
“Apa yang adek inget pesen tokoh soal kekuasaan?” tanya Dinda, menatap Gilang dengan serius.
“Bung Karno pernah bilang begini; Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden pun ada batasnya, karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa,” jawab Gilang.
“Kayaknya, banyak orang nggak pernah mahami apa yang disampein Bung Karno itu ya, dek. Makanya sekarang ini, cuma yang lagi pegang kekuasaan aja yang dihormati, dihargai, dan apa pun yang diomongin dianggep minyak wangi. Banyak yang lupa, kalau kekuasaan sebesar apapun ada batasannya,” ucap Dinda, dengan suara pelan.
“Nggak usah riweh sama urusan beginianlah, mbak. Tonton aja yang lagi nikmati kekuasaannya. Teteplah kita jadi diri sendiri dan berjuang ngerubah dimensi kepemimpinan,” tanggap Gilang.
“Maksudnya gimana, dek?” tanya Dinda, mengernyitkan dahinya.
“Kalau kata Barack Obama, Presiden ke-44 Amerika Serikat itu, mbak. Berhasil ngalahin diri sendiri, buatmu dewasa. Bisa ngalahin orang lain, buatmu jadi pemenang.
Memberhasilkan orang lainlah yang buatmu jadi pemimpin,” jelas Gilang.
“Jadi maksudnya lebih elegan bantu berhasilin orang lain ketimbang kita siwek berebut kekuasaan, gitu ya, dek?” tanya Dinda lagi.
“Baikan sih gitu, mbak. Ketimbang punya kekuasaan tapi nggak amanah, kan risikonya berat di akherat nanti. Toh, dengan ngebantu orang berhasil, kita layak dianggep pemimpin,” ucap Gilang, sambil tersenyum lebar.
“Tapi faktanya, kalau nggak pegang kekuasaan kan nggak dianggep juga sama orang, dek,” Dinda menimpali.
“Mbak jangan lupa, citra diri pemimpin itu nggak terbatas ruang dan waktu. Kalau kekuasaan ada batasannya. Dan pemegang kekuasaan yang sesukanya jalanin amanah, akan terlunta setelahnya,” kata Gilang, dengan nada santai dan tetap tersenyum. (*)