Oleh: Agusliadi Massere *)
HATIPENA.COM – Membaca buku karya terbaru Prof. Haedar Nashir, Gerakan Islam Berkemajuan (2024), saya mendapatkan percikan inspirasi dan akhirnya lahirlah judul ini. Awalnya, saya menggunakan term “Menjaga”. Namun, saya menggantinya dengan term “Merawat” karena melampaui dari sekadar menjaga.
Ada banyak ilmuwan dunia dan mereka para outsider yang memberikan apresiasi dan menggambarkan cerita sukses tentang Muhammadiyah. Selain itu, cendekiawan dan tokoh Islam sekelas Prof. Nurcholish Madjid pun menggambarkan cerita sukses tersebut. “Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern yang terbesar di dunia, lebih besar daripada yang mana pun di negeri Islam lain.
Muhammadiyah juga sebuah organisasi Islam yang relatif paling berhasil, jika dilihat ciri kelembagaannya yang modern dengan produk-produk sosial keagamaannya yang sangat mengesankan, lebih dari organisasi Islam mana pun dan di mana pun”. Ini sedikit yang saya ambil dari yang dikutip oleh Prof. Haedar ke dalam bukunya tersebut.
Robert van Niel ahli tentang Indonesia dari Belanda pun menegaskan “Muhammadiyah bersama Boedi Oetomo, merupakan dua organisasi yang paling banyak mempengaruhi perkembangan elit di Indonesia. Muhammadiyah dengan mempergunakan taktik kelompok Missionaris Eropa dan dengan menggunakan ide pembaruan dalam Islam, telah meraih sukses dalam gerakannya”. Ada banyak cerita sukses yang bisa kita temukan dalam buku Gerakan Islam Berkemajuan yang bermuara pada apresiasi dan kekaguman para outsider dan mereka pun para ilmuwan sehingga penilaiannya sangat objektif.
Saya yang pernah membaca dan mendalami buku The Power of Appreciative Inquiry (2007) karya Diana Whitney & Amanda Trosten-Bloom memandang, bahwa cerita-cerita sukses itu harus dirawat. Tentu saja, ini mengandung energi dan selamanya bisa berfungsi laksana pelampung agar kita tidak tenggelam di dalam samudera kehidupan, yang terkadang menampilkan realitas yang oleng. Artinya bukan Muhammadiyah yang oleng, tetapi ombak di sekelilingnya sangat dahsyat, dan termasuk perahu peradaban lainnya pun sudah ada yang oleng dan tenggelam karena tidak sanggup menghadapi badai.
Yang utama dari Whitney dan Bloom, ditegaskan, bahwa cerita inspiratif dari orang biasa saja bisa memantik lahirnya perubahan.
Apa lagi, sebagaimana yang diungkapkan pula oleh Zakiyuddin Baidhawy dan Azaki Khoiruddin tentang appreciative inquiry, bahwa hal ini mengandung asumsi dasar yang berpijak pada hipotesis heliotropic.
“Yaitu, organisasi berkembang sebagaimana tumbuhan yang tumbuh berkembang mengarah kepada sesuatu yang memberi mereka kehidupan dan energi. Begitu pun dengan organisasi yang tumbuh berkembang mengarah kepada image paling positif yang diyakini sistem sosial tersebut”. (Zakiyuddin & Azaki, 2017: 69).
Meskipun, saya tidak menguraikan satu persatu ke dalam tulisan ini tentang cerita sukses Muhammadiyah tersebut, saya pun yakin bahwa para sahabat pembaca sudah bisa menemukannya sendiri. Saya hanya ingin menegaskan bahwa apa pun cerita sukses Muhammadiyah itu harus dirawat karena di dalamnya mengandung energi yang memiliki banyak manfaat dan bisa memengaruhi sikap dan tindakan, terutama sebagai kader.
Memahami teori Habitus Pierre Bourdieu yang dieditori oleh Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes kemudian diterjemahkan oleh Pipit Maizier. Termasuk yang dijelaskan secara baik oleh Hadi Saputra (Saya menyapanya dengan Kak Hadi) ke dalam tesisnya berdasarkan pemahamannya tentang teori Bourdieu itu dari Takwim, Martono, dan Haryatmoko, saya mendapatkan pemahaman menarik. Pemahaman menarik itu ada relevansinya dengan cerita sukses Muhammadiyah.
Mudah-mudahan tidak keliru, saya memahaminya, bahwa cerita sukses itu jika merujuk para teori Habitus Bourdieu, itu bisa menjadi habitus, modal, sekaligus arena yang pada muaranya akan melahirkan praktik-praktik positif, produktif, konstruktif, fungsional, dan kontributif. Tentu saja, ini akan menjadi bola salju yang terus menggelinding atau menjadi mesin produksi dan reproduksi untuk menghasilkan cerita sukses baru yang lebih positif, kontekstual, dan berkemajuan.
Ini pun terasa sebagaimana yang diungkap oleh Whitney dan Bloom, mengikuti mekanisme kerja energi fusi. Energi bertemu energi, kebaikan bertemu kebaikan, hal inspiratif bertemu hal inspiratif, cerita sukses bertemu cerita sukses, maka kelak akan menghasilkan ledakan kesuksesan yang lebih dahsyat dan berguna, bukan hanya untuk Muhammadiyah semata tetapi untuk lingkup kehidupan yang lebih luas.
Hanya saja—dan memang saya menulis tulisan ini bukan hanya untuk fokus menguraikan cerita sukses secara kuantitatif—namun, ada hal inspiratif, ada energi, nilai, dan makna lain yang ingin saya ungkapkan dan kelak itu mengikuti teori Habitus Bourdieu. Dalam makna yang mudah dipahami, bahwa apa yang saya ungkap di sini oleh sahabat pembaca, terutama oleh kader akan melakukan proses eksternalisasi interior (memahami; menyerap; memenuhi ruang niat, pikiran, dan perasaan; serta proses algoritmik diri) selanjutnya kelak, akan terjadi proses internalisasi eksterior, proses pengaplikasian atau impelementasi, sehingga implikasi positifnya makin terasa.
Ibarat tanaman atau tumbuhan, kita jangan hanya melihat buahnya. Begitu pun cerita sukses ini, jangan hanya dilihat sebagai sebuah hasil. Tumbuhan ada dahannya, ranting, cabang, batang, akar, dan di dalam akar pun masih ada energi yang tak tampak. Sama halnya dengan cerita sukses Muhammadiyah, tentu saja ada nilai dan etos yang menggerakkan. Termasuk ditopang oleh orientasi makna kehidupan berdasarkan nilai yang berakar dari pemahaman dan kesadaran keagamaan yang dimiliki oleh Muhammadiyah.
Terkait hal itu, tentu saja ada banyak nilai, etos, makna, basis sosial, psikologis, teologis, dan ideologis yang bergerak dalam algoritma sejarah perjalanan peradaban Muhammadiyah. Tentu saja, saya pun tidak bisa menguraikan semuanya di sini, baik karena keterbatasan media yang saya gunakan maupun keterbatasan diri sendiri dalam memahami semuanya.
Muhammadiyah itu dikenal dengan etos welas asih-nya. Dr. Soetomo pun—pendiri Budi Utomo –(kesannya) tertarik menjadi bagian dari Muhammadiyah karena etos ini. Etos ini tidak bisa diragukan, preseden historisnya jelas dalam sejarah awal Muhammadiyah sebagai percikan dari etos Al-Ma’un. Mengapa saya juga mengungkapkan ini?
Dalam bahasa yang lebih modern—jika merujuk pada istilah Yudi Latif—welas asih itu bisa disebut denga the power of love (kekuatan cinta). Artinya, DNA ini harus mewarnai kader-kader, terutama jajaran pimpinan Muhammadiyah dalam menjalankan amanah di internal Muhammadiyah maupun secara eksternal amanah-amanah mulia dari negara.
Kekuatan cinta ini penting mewarnai segala sikap dan tindakan kita. Apakah lagi dalam mengemban amanah besar, mulia, dan menyangkut nasib orang banyak (baca: masyarakat/rakyat). Jika sebaliknya yang terjadi, the love of power (cinta kekuasaan) maka bisa dipastikan tidak ada nilai positif, produktif, dan konstruktif yang bisa tumbuh subur dalam diri kita untuk mewarnai segala sikap dan tindakan.
Jika Yudi Latif menegaskan yang bisa diparafrasekan seperti ini “the love of power (cinta kekuasaan) bisa menjadi lahan tandus bagi tumbuh suburnya nilai-nilai Pancasila”. Tentunya, ini pun bisa menjadi lahan tandus bagi tumbuh suburnya nilai-nilai kekaderan, keislaman, moralitas kader yang sejatinya harus senantiasa menjadi kiblat atau memengaruhi proses algoritmik diri tanpa kecuali dalam menjalankan amanah dan mengambil keputusan serta kebijakan.
Mungkin di sinilah kita bisa menarik garis relevansi, makna mendalam, pikiran yang melampaui zamannya dari seorang Kiai Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
Harapan ini menjadi konsepsi yang akan menyerap ke dalam diri kader Muhammadiyah agar bukan spirit cinta kekuasaan yang kelak terimplemetasi dalam kehidupannya, baik ketika mendapat jabatan di internal Muhammadiyah terutama ketika mendapat jabatan di luar Muhammadiyah yang lebih besar.
Inilah gambaran relevansi teori Habitus Bourdieu dan cerita sukses itu, termasuk energi fusi, dan hukum heliotropic yang diungkap oleh Whitney dan Bloom, agar sesuai harapan dan nilai-nilai yang melekat dalam diri sebagai kader dan umat Islam.
Selain yang di atas, “Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” sebagai tujuan Muhammadiyah, kemudian diperkuat dengan cara pandang keagamaan, “Islam Berkemajuan”, ini pun merupakan nilai etos utama yang membuat cerita-cerita sukses Muhammadiyah itu terus mengalir sejak awal berdirinya sampai melintasi abad keduanya.
Sebagaimana penegasan di atas, tentang teori dan konsepsi tersebut, kita pun, baik kader maupun pimpinan Muhammadiyah, harus berupaya sekuat tenaga dan sepenuh hati, dan idealnya itu sudah nyata dan terpancar dari diri kita selaku kader dan pimpinan, untuk mewujudkan tujuan tersebut dalam bingkai Islam yang berkemajuan.
Yang membuat cerita-cerita sukses Muhammadiyah itu terwujud, termasuk nilai dan etos kejujuran, integritas, kesabaran, komitmen pada amanah, kepedulian dalam makna luas, dan fokus membingkai sikap dan tindakan pada rida Allah dan orientasi bahagia dunia dan akhirat, harus mengalami eksternalisasi interior (dipahami, diserap, disadari, diyakini, dan diingat terus-menerus) dan selanjutnya dilakukan internaliasi eksterior (diimplementasikan, diwujudkan, atau diaplikasikan) dalam kehidupan. Inilah wujud harapan dalam pemahaman sederhana.
Tentu saja, masih banyak hal lainnya yang bisa menjadi nilai, etos, dan basis-basis sebagaimana yang diungkapkan di atas, hanya saja—sekali lagi—ruang ini tentunya tidak cukup untuk menguraikannya panjang kali lebar. (*)
*) Pemilik Pustaka “Cahaya Inpsirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.