Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Hari ini, Sabtu Keliwon, 7 Juni, umat Hindu di Bali menundukkan kepala bersyukur atas limpahan karunia Hyang Widhi Wasa.
Hari ini Tumpek Krulut, satu dari enam tumpek dalam wariga Bali, yang lahir dari keheningan dan kasih yang lembut.
Hari kasih sayang versi Bali, yang jika dibandingkan dengan dunia luar, barangkali sepadan dengan Valentine’s Day pada 14 Februari.
Krulut. Sebuah kata yang berasal dari akar kata lulut, yang berarti tunduk, lembut, tresna asih, kasih dan welas.
Ia bukan sekadar perayaan cinta antar sepasang kekasih, bukan pula sekadar pertukaran bunga dan cokelat yang hampa makna. Krulut adalah penghormatan. Kasih sayang dalam wujud yang paling purba: kepada Tuhan, sesama manusia, dan bumi tempat kaki ini berdiri.
Jika dunia merayakan cinta setahun sekali dalam 365 hari, Bali melakukannya dua kali dalam 420 hari. Bukan karena lebih rajin, tapi karena cinta yang sejati tak pernah menunggu kalender, tak pernah menunggu waktu.
Bayangkan sebuah pagi ketika dupa mengepul semerbak dan suara gamelan mengalun pelan dari sela-sela rumah. Umat menyiapkan canang, menata hati. Mereka memohon maaf kepada Hyang Widhi atas luka yang mungkin telah dilukai tanpa sadar. Mereka menyampaikan paramasuksma, terima kasih tanpa pamrih atas hidup yang tetap diberi.
Dan tak hanya kepada Tuhan, kasih itu juga disampaikan kepada anak dan orang tua, kepada hewan, kepada tanah, air, dan angin, kepada semesta, kepada semua.
Inilah Bali yang sering tak dipahami: cinta di sini tidak berhenti pada manusia.
Lalu, dalam dunia paradoks ini, bagaimana cinta dirawat di zaman plastik dan asap? Ketika kasih bukan lagi tentang memberi, tapi memiliki?
Sekaranglah momentumnya. Momentum Tumpek Krulut bukan hanya tentang doa dan dupa, tapi juga aksi nyata.
Cinta pada bumi bukan utopia—ia bisa menjelma dalam bentuk bali bersih sampah. Mengolah limbah dapur dengan ton edan ala Punggul, memuliakan sampah organik lewat biopori, dan menata sampah berbahaya di TPS3R. Cinta harus bekerja, bukan hanya terasa.
Bukankah mencintai bumi tak kalah penting dari mencintai manusia?
Barangkali kita lupa bahwa Car Free Day yang kini meramaikan Bundaran HI dan Monas setiap minggu pagi terinspirasi dari Nyepi. Dari keheningan yang tidak hanya mematikan mesin, tapi juga ego. Satu hari dalam setahun, Bali menutup jalan, mematikan lampu, menghentikan dunia. Bukan karena bencana, tapi karena cinta. Cinta yang memberi ruang kepada bumi untuk bernapas.
Listrik padam satu jam versi lembaga dunia sekaliber WWF memang baik, tapi Bali telah mematikannya selama 24 jam sejak dahulu. Di saat dunia baru belajar tentang sustainability, Bali telah melakukannya dengan ritual.
Maka, bersyukurlah hidup di Bali, pulau yang tak hanya indah dipandang, tapi juga dalam dipikirkan. Pulau kecil dengan filosofi besar.
Dalam dunia yang sibuk menjual kasih sayang, Bali masih mengupacarainya.
Hari ini, Sabtu Keliwon, Tumpek Krulut, mari merawat cinta yang tak hanya menyentuh hati, tapi juga menyentuh tanah. Karena bumi pun ingin dicintai—bukan dengan janji, tapi dengan tindakan. (*)
Denpasar, 7 Juni 2025