Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Merupa Buku dari Waktu ke Waktu

January 6, 2025 06:25
Iksaka Banu sedang memeragakan cara merancang cover buku (Foto: Aryo"Obeems" Bimo dan Pribadi)
Iksaka Banu sedang memeragakan cara merancang cover buku (Foto: Aryo"Obeems" Bimo dan Pribadi)

Iksaka Banu

TIDAK seperti biasanya, kali ini saya diminta mengisi acara menjadi salah satu narasumber dalam rangkaian acara “Daur” yang bertajuk “Merupa Buku dari Waktu ke Waktu”.

Ya, tumben sekali dalam kesempatan kali ini saya diundang bukan sebagai penulis yang bicara tentang cerpen atau novel fiksi sejarah, melainkan sebagai perancang grafis. Lebih spesifik lagi: perancang sampul buku. Barangkali karena patjarmerah tahu, selain menulis, saya juga nyambi bikin aneka pekerjaan grafis, termasuk cover buku.

Saat diskusi, saya ditemani Abul, perancang grafis dan illustrator dari penerbit Noura, dan Nadya Noor, arsitek, illustrator, sekaligus perancang grafis lepas, di Kedai Patjarmerah, Minggu (5/1/2025) siang hingga sore.

Saya kebagian memaparkan bagaimana merancang cover di zaman pradigital dan bagaimana saya beradaptasi ketika revolusi desktop publishing melanda dunia grafis awal tahun 90-an dulu.

Sementara Abul dan Nadya bicara tentang pengalaman mereka mengerjakan cover masa kini. Dari anak-anak muda yang keren ini, saya belajar tentang tren cover hari ini, tentang hubungan antara penerbit-penulis, dan desainer hari ini, dan banyak lagi.

Suasana diskusi yang dihadiri 40 peserta dan dipandu Wahyu Novianto sangat asyik. Terlebih karena di antara peserta juga ada kelompok desainer “jadul” seperti saya, dan Gen Z-Milenial seperti Nadya dan Abul.

Di akhir acara, saya mendapat kehormatan mempresentasikan secara detail tahap demi tahap proses pembuatan cover buku secara manual. Mulai dari pembuatan sketsa, memilih illustrator, membuat final artwork secara manual (dengan pena rapido), memesan huruf ke pihak jasa pembuatan huruf (photo typesetter), memotong, merajang, dan menempelkan teks dengan lem semprot, memberi instruksi warna secara manual, hingga mengirim artwork untuk dijadikan lembaran film ke pihak separasi warna.

Banyak yang takjub dengan kerumitan dan lamanya proses itu dibandingkan mengerjakan semuanya sekali jalan dengan komputer hari ini.

“Ya, benar,” sahut saya. Hari ini dengan bantuan komputer proses pembuatan cover bisa lebih cepat, mudah, dan praktis. Namun, ada yang hilang, yaitu penghormatan dari klien dan dari kita sendiri terhadap proses kerja yang kita jalani.

Dalam satu hari, lewat email atau WhatsApp, desain yang dikerjakan dengan komputer itu bisa bolak-balik tak terhitung banyaknya untuk diminta revisi oleh penerbit tanpa dipungut bayaran sepeser pun.

Padahal di masa lalu, setiap tahapan kerja selalu melewati tanda tangan bersama antara penerbit (sebagai klien) dan desainer. Baik pada tahap pemilihan desain, pembuatan artwork, maupun saat memeriksa hasil separasi warna.

Bila ada yang menyimpang dari yang sudah disepakati, tentu akan ada tambahan biaya. Sebaliknya, bila kesalahan ada di pihak desainer, tentu ia harus mengganti biaya kesalahan separasi warna itu dari kantongnya sendiri.

Nah, karena ada faktor biaya, dan karena tahu bahwa tahap revisi akan memakan waktu lama, maka semua pihak di masa lalu biasanya bekerja dengan sangat teliti dan tidak grusa-grusu meminta opsi desain atau revisi.

Di luar contoh yang saya berikan, kami semua paham bahwa zaman sudah berubah. Dengan segala kemudahan teknologi, maka biaya desain, ilustrasi, bahkan biaya cetak hari ini ikut terpangkas menjadi sangat ekonomis dibandingkan masa lalu.

Bahkan tahap pemisahan warna dan pembuatan film untuk pelat cetak pun tidak ada lagi. Langsung cetak pelat dari komputer. Apa boleh buat, semua harus beradaptasi atau punah. (*)

(Iksaka Banu, Penulis Novel Rasina)