Ilustrasi : AI/ Elza Peldi Taher
Penulis : Elza Peldi Taher
HATIPENA.COM – Tak ada angin, tak ada hujan, Cristiano Ronaldo tiba-tiba mengumumkan bahwa dialah pemain terbaik sepanjang masa. “ Saya adalah pemain terbaik sepanjang masa” kata Ronaldo dengan yakin. Pernyataan itu meledak seperti petasan di siang bolong. Banyak yang terbahak. Sebab, klaim Ronaldo terasa lebih sebagai harapan ketimbang kenyataan.
Siapa pemain terbaik dunia sepanjang masa sebenarnya sudah terjawab Desember 2022, di Piala dunia Qatar. Lionel Messi tak sekadar bermain bola—ia menari di atas lapangan. Tujuh gol, tiga di antaranya di final.
Panggung terbesar sepak bola itu ia sulap menjadi miliknya, tempat ia melengkapi daftar prestasi yang tak tersaingi manusia lain. Argentina merajai dunia, dan Messi duduk di singgasana tertinggi yang pernah ada dalam sejarah sepak bola.
Sejak lama ada syarat tak tertulis bagi mereka yang ingin duduk di kursi legenda: juara dunia. Pele memilikinya. Maradona memilikinya. Sebelum Qatar, ada keraguan, setitik noda dalam kesempurnaan Messi. Tapi setelah final itu, yang tersisa hanyalah tinta emas.
Messi melengkapi mahkotanya: juara Olimpiade, juara dunia junior, juara Copa America, juara Liga Champions empat kali, dan delapan Ballon d’Or. Ia bukan hanya pesepak bola terbaik di zamannya, ia adalah yang terbaik sepanjang masa.
Setelah juara dunia, Messi melengkapi kejayaannya dengan meraih Ballon d’Or yang kedelapan kalinya tahun berikutnya dan tahun 2024 membawa Argentina juara Copa America kedua kalinya. Prestasinya betul-betul sempurna.
Fabio Capello, mantan pelatih AC Milan dan Real Madrid, pernah berkata, “Messi adalah kesempurnaan.” Pep Guardiola, pria yang melatihnya di Barcelona, pernah berkata, “Jangan mencoba mengambil alih kursi Messi. Ia akan menjadi yang terbaik sepanjang masa.” Zinedine Zidane, maestro Prancis, mengakui, “Messi adalah sesuatu yang lain. Tidak ada pemain seperti dia.”
Jurgen Klopp pun tak bisa menyembunyikan kekagumannya, “Messi adalah pemain terbaik yang pernah saya lihat. Sulit dipercaya.” Bahkan Sir Alex Ferguson, yang membesarkan Ronaldo di Manchester United, pernah berujar, “Di antara Messi dan Ronaldo? Messi lebih komplet.”
Lalu bagaimana dengan Ronaldo? Ketika Messi mencapai puncak, ia justru terpuruk. Portugal tersingkir di perempat final tahun 2022, dan Ronaldo tak lagi menjadi pilihan utama, ia kerap dicadangkan. Pemandangan yang ironis: bintang tua yang kehilangan cahaya, duduk di bangku cadangan dengan ekspresi getir.
Rekan-rekannya tak lagi melihatnya sebagai pemimpin, dan dalam momen-momen krusial, ia lebih banyak menjadi penonton ketimbang aktor utama.
Di Argentina, situasinya bertolak belakang. Messi bukan sekadar kapten, ia adalah ruh tim. Setiap pemain Argentina menghormatinya dengan cara yang hampir religius. Dalam setiap pertandingan, mereka memastikan Messi masuk lapangan lebih dulu. Rodrigo De Paul, gelandang pekerja keras Argentina, pernah berujar, “Aku akan berlari hingga mati untuk Messi.” Emiliano Martinez, sang kiper, dengan bangga berkata, “Kami bermain untuknya. Kami ingin memberinya segalanya.” Bahkan Angel Di Maria, sahabat seperjuangan, mengaku, “Aku lebih bahagia melihat Messi juara dunia dibanding apa pun dalam hidupku.”
Maka ketika Ronaldo mengumumkan bahwa dialah yang terbaik sepanjang masa, dunia tak menggubris. Sepak bola sudah menuliskan sejarahnya sendiri. Jika Messi adalah alien, Ronaldo hanyalah manusia yang merajuk. Dan sejarah, seperti biasa, tak berpihak pada yang hanya berbicara, melainkan pada yang membuktikan segalanya di atas lapangan.
Tak diragukan lagi Messi adalah pemain terbaik sepanjang sejarah. Dengan badan yang kecil, tiap kali bermain bola ia meliuk-liuk, menyihir penonton sehingga mendatangkan decak kagum yang luar biasa. Sungguh beruntung hidup di era Messi, bisa menyaksikannya bermain, sebab pemain seperti Messi mungkin hanya pernah sekali lahir di bumi ini.(*)
Pondok Cabe Udik 6 Februari 2025