Oleh ReO Fiksiwan
“Niat baik serta rencana hebat untuk memakmurkan kehidupan orang banyak sama sekali bukan jaminan bahwa kemakmuran tersebut akan benar terwujud.” — Tania Murray Li (47), The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics (2007).
HATIPENA.COM – Sulawesi Utara, tanah yang dulu dikenal sebagai lumbung kopra Nusantara, kini lebih sering disebut sebagai lumbung jargon.
Negeri Nyiur Melambai, katanya. Tapi nyiur itu kini melambai bukan pada panen, melainkan pada investor dan kontraktor.
Masa emas Sulut sebagai penghasil kopra, yang bahkan sempat menjadi komoditas strategis dalam konflik Permesta—seperti ditulis oleh Compton—telah lama berlalu.
Kopra yang dulu bisa ditukar dengan senjata, kini hanya menjadi nostalgia dalam seminar dan museum.
Cengkih, nama lain emas coklat, komoditas harum yang pernah menjadi simbol kemakmuran petani Minahasa, dijarah secara sistematis lewat kebijakan monopoli BPPC di era Orde Baru.
BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) dibentuk atas prakarsa Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dan mulai beroperasi pada tahun 1990, setelah ia mengusulkan pendirian lembaga tersebut kepada Menteri Perindustrian Hartarto pada 19 Januari 1990.
Tujuan utama BPPC adalah menjadi pembeli tunggal (monopsoni) cengkih dari petani dan penyalur eksklusif ke industri rokok dan makanan.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengendalikan harga cengkih dan menjamin stabilitas pasar, namun dalam praktiknya menimbulkan kontroversi karena dugaan monopoli dan nepotisme.
Karena kontraproduktif, BPPC akhirnya dibubarkan melalui Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1998, yang mulai berlaku pada 2 Februari 1998, dan secara resmi dihentikan operasinya pada 30 Juni 1998.
Petani yang dulu bangga dengan hasil panen, kini hanya bisa mengenang masa ketika harga cengkih ditentukan oleh pasar, bukan oleh konglomerat yang dekat dengan kekuasaan.
Lumbung cengkih berubah menjadi lumbung kekecewaan.
Sektor perikanan pun tak luput dari ironi.
Laut Sulawesi yang kaya akan tuna dan hasil tangkapan lainnya lebih banyak dijarah oleh nelayan Filipina daripada dimanfaatkan oleh nelayan lokal.
Bahkan di penghujung jabatan Gubernur Olly Dondokambey, ekspor tuna ke Jepang hanya terjadi sekali, itupun dengan menggandeng maskapai Garuda.
Sebuah pencapaian yang lebih mirip seremoni daripada strategi.
Laut yang luas, nelayan yang tangguh, tapi kebijakan yang sempit.
Empat dekade pemerintahan provinsi, dari era SH. Sarundajang hingga Olly Dondokambey, telah melahirkan berbagai program yang terdengar megah: World Ocean Conference, CTI Summit, “Mari Bakobong”, ODSK (Operasi Daerah Singkir Kemiskinan).
Tapi semua itu lebih sering menjadi kosmetik pertumbuhan ekonomi lokal daripada solusi struktural.
Data BPS memang menunjukkan pertumbuhan ekonomi 5,6%, tapi sektor pertanian hanya menyumbang 19% terhadap PAD.
Sementara konsumsi masyarakat didominasi oleh kredit konsumtif sebesar 23%.
Artinya, rakyat lebih banyak berutang untuk belanja daripada bertani untuk makan.
Program “Mari Bakobong” digembar-gemborkan sebagai jawaban atas krisis pangan.
Tapi kenyataannya, lahan pertanian justru beralih fungsi menjadi tambang dan properti.
Dari Minahasa hingga Bolaang Mongondow, tanah-tanah produktif berubah jadi lubang-lubang tambang yang menganga seperti luka di tubuh bumi.
Infrastruktur pertanian tak memadai: jalan rusak, irigasi mangkrak, pasar tradisional kalah oleh minimarket waralaba.
Sementara utang PEN sebesar Rp1,4 triliun digunakan untuk membangun rumah sakit dan jalan lingkar, bukan untuk memperkuat ketahanan pangan.
Ironi terbesar adalah pembangunan ekonomi yang dijalankan dengan gaya perkoncoan.
Proyek strategis nasional lebih sering jatuh ke tangan kroni dan kerabat, bukan petani dan nelayan.
Nepotisme bukan lagi rahasia, melainkan metode.
Seperti dalam Popular Capitalism versi Sir John Redwood, privatisasi dan deregulasi dijadikan dalih untuk memperluas kepemilikan, tapi yang terjadi justru konsentrasi aset di tangan segelintir elite. Kapitalisme populer?
Lebih mirip kapitalisme keluarga.
Hernando de Soto (84), ekonom kelahiran Peru, dalam The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else (2000) menulis bahwa kecerdikan wirausaha kaum miskin menciptakan kekayaan dalam skala besar.
Dikutip De Soto, Bapak Ekonomi Kakilima, berikut:
„Kendala utama yang menghalangi seluruh dunia untuk mendapatkan manfaat dari kapitalisme adalah ketidakmampuannya dalam memproduksi modal.
Modal adalah kekuatan yang meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan menciptakan kekayaan bangsa.“
Tapi di Sulut, kekuatan ekonomi kaki lima tak pernah diberi ruang.
Pedagang kecil digusur demi proyek properti, petani dibungkam oleh regulasi, nelayan dipinggirkan oleh reklamasi.
Justru mereka yang menyimpan potensi kapital terbesar, bukan investor yang datang dengan proposal dan pulang dengan konsesi.
Joseph Stiglitz (82), peraih nobel ekonomi 2001, pernah menyebut dekade keserakahan sebagai era kegagalan moral ekonomi.
Di Sulut, kita menyaksikan versi lokalnya: proyek rebutan, jabatan warisan, dan kebijakan yang lebih sibuk membangun citra daripada membangun pangan.
Strategi alternatif seperti Blue Ocean Strategy (2005) dari W. Chan Kim dan Renée Mauborgne, yang menekankan inovasi nilai, tampaknya belum dikenal.
Berikut sedikit ulasan mereka:
“Strategi samudra biru adalah tentang meningkatkan permintaan dan melepaskan diri dari persaingan. Strategi ini tentang menciptakan pasar baru, alih-alih memperebutkan pasar yang sudah ada.“
Kita masih berenang di laut merah penuh darah kompetisi.
Tidak ada lompatan nilai, hanya lompatan utang dan lompatan jabatan.
Lumbung pangan hanyalah mitos yang dijual dalam pidato, seminar dan riset-riset mubasir yang jadi koleksi perpustakaan
Sementara, kenyataan di lapangan adalah lumbung utang dan tambang yang makin lebar dan menganga..
Jika ada yang bertanya di mana lumbung pangan Sulut, jawablah dengan jujur: mungkin ia sedang ditambang, dijual, atau dijadikan agunan di bank-bank dan rentenir.
Yang pasti, ia tidak berada di ladang petani.
Ia ada di meja rapat, di balik kontrak, dan di antara barisan nama yang tak pernah turun ke sawah. (*)
#coverlagu: Oh Minahasa, Conny Mamahit (1965-2020).