Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Keberlangsungan dan Pelestarian Adat Istiadat Lampung di Kabupaten Pesawaran
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Kabupaten Pesawaran, yang berada di selatan Provinsi Lampung dan dikelilingi oleh pesisir pantai, gunung, dan lembah, bukan sekadar wilayah administratif yang tumbuh sejak 2007.
Lebih dari itu, ia adalah rumah bagi ribuan warga yang membawa serta warisan budaya yang kaya, khususnya adat istiadat masyarakat Lampung yang masih hidup dalam keseharian, meski tengah berhadapan dengan tantangan zaman.
Modernisasi telah masuk ke desa-desa, jalan-jalan kini lebih ramai oleh kendaraan, sekolah mengajarkan teknologi, dan anak-anak muda fasih menggunakan media sosial.
Lalu, bagaimana nasib adat istiadat yang dulu menjadi landasan kehidupan sosial orang Lampung? Apakah masih relevan? Apakah tetap dijaga atau perlahan memudar?
- Identitas Adat Lampung di Pesawaran
Secara budaya, masyarakat Lampung di Pesawaran terbagi ke dalam dua kelompok utama:
• Lampung Saibatin: umumnya berada di wilayah pesisir seperti Padang Cermin, Teluk Pandan, dan Punduh Pidada. Masyarakat Saibatin menganut sistem aristokrasi yang ketat dalam pemberian gelar dan peran adat.
• Lampung Pepadun: ditemukan di daerah pedalaman seperti Way Lima, Kedondong, dan Negeri Katon. Mereka lebih demokratis dalam struktur adat dan lebih terbuka dalam perubahan sosial.
Kedua kelompok ini memiliki ciri khas adat masing-masing, baik dalam bahasa, gelar, rumah adat (nuwo), upacara, hingga pola hubungan sosial. Di Pesawaran, nilai-nilai adat tersebut masih melekat dalam kehidupan masyarakat meskipun sudah mulai bertransformasi. - Praktik Adat dalam Kehidupan Sehari-hari
a. Upacara Adat
• Begawi (upacara besar, seperti pernikahan, naik gelar) masih sering dilaksanakan, namun dengan penyesuaian. Dulu bisa berlangsung 3 hari 3 malam, sekarang sering dipersingkat dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi.
• Tradisi cangget dan penyambutan pengantin dengan tari-tarian dan siger tetap dilakukan, menjadi simbol kebanggaan identitas Lampung.
b. Bahasa
• Bahasa Lampung digunakan sehari-hari di keluarga dan lingkungan adat. Meski kini mulai berkurang, terutama di kalangan anak muda, beberapa sekolah dan keluarga masih konsisten mengajarkannya.
• Upaya revitalisasi dilakukan melalui kurikulum muatan lokal dan komunitas budaya.
c. Gotong Royong dan Nilai Sosial
• Sakai sambayan (gotong royong) dan nemui nyimah (keramahan) masih kuat, terutama di desa. Warga saling bantu saat ada kemalangan, hajatan, atau pembangunan fasilitas umum seperti masjid dan jalan desa.
• Musyawarah adat dalam menyelesaikan sengketa masih berlangsung di beberapa pekon, menjadi solusi damai dibanding jalur hukum.
- Tantangan Modernisasi terhadap Adat
a. Perubahan Gaya Hidup
Generasi muda cenderung lebih tertarik pada budaya populer: fashion global, musik digital, hingga gawai pintar. Mereka mulai menjauh dari nilai-nilai seperti penghormatan pada tetua, penggunaan gelar adat, atau penguasaan bahasa daerah.
b. Komersialisasi Tradisi
Beberapa nilai adat berubah menjadi formalitas atau simbol prestise. Gelar adat kadang diberikan tanpa proses adat yang utuh, melainkan karena status ekonomi atau politik.
c. Urbanisasi dan Masuknya Pendatang
Sebagian wilayah Pesawaran kini dihuni oleh masyarakat dari luar Lampung, membawa budaya dan sistem sosial berbeda. Hal ini menciptakan akulturasi tapi juga kadang menyebabkan identitas lokal memudar.
d. Kurangnya Dokumentasi dan Regenerasi
Banyak tradisi, cerita rakyat, dan hukum adat yang belum terdokumentasi secara tertulis. Jika tidak diwariskan secara aktif, adat bisa hilang bersama generasi tuanya.
- Upaya Pelestarian: Antara Warisan dan Adaptasi
a. Keluarga sebagai Benteng Adat
• Beberapa keluarga masih konsisten menjaga adat lewat tradisi lisan, penggunaan bahasa Lampung, dan keterlibatan aktif dalam kegiatan adat.
• Orang tua berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai seperti pi’il pesenggikhi (harga diri dan integritas), sopan santun, dan gotong royong.
b. Pendidikan Berbasis Budaya
• Sekolah di Pesawaran mulai menerapkan muatan lokal budaya Lampung: mengenal aksara Lampung, cerita rakyat, tari tradisional, dan pakaian adat.
• Pelatihan untuk guru dan workshop budaya menjadi alat pelestarian di kalangan pelajar.
c. Festival dan Dokumentasi Digital
• Acara seperti Festival Adat Sai Bumi Ruwa Jurai, pertunjukan cangget, dan lomba budaya lokal menjadi ajang pelestarian sekaligus promosi budaya.
• Komunitas pemuda dan tokoh adat mulai menggunakan media sosial untuk mengenalkan adat kepada generasi baru.
- Jalan Tengah: Menjaga Makna, Menyesuaikan Bentuk
Pelestarian adat bukan berarti menolak modernisasi. Justru, keduanya bisa saling melengkapi. Contohnya:
• Upacara pernikahan adat bisa dikemas modern tanpa meninggalkan makna.
• Media sosial bisa jadi sarana pengenalan gelar, sejarah marga, hingga puisi Lampung.
• Pakaian adat dipakai dalam momen resmi tapi tetap disesuaikan dengan kenyamanan masa kini.
• Teknologi dokumentasi bisa menyimpan lagu-lagu adat, petuah nenek moyang, dan hukum adat. - Penutup: Warisan yang Harus Hidup, Bukan Dibekukan
Adat istiadat Lampung di Kabupaten Pesawaran bukan hanya warisan kultural, tetapi sumber moral, spiritual, dan sosial yang berharga dalam membentuk karakter warga. Di tengah modernisasi yang tak terbendung, adat bisa menjadi jangkar identitas dan kekuatan nilai.
Pelestarian adat tidak bisa hanya mengandalkan nostalgia, tapi harus dilakukan secara aktif, kreatif, dan adaptif. Generasi muda harus diajak melihat adat bukan sebagai beban masa lalu, melainkan bekal untuk masa depan—dengan mengusung nilai, bukan sekadar bentuk.
Adat Lampung harus dihidupkan kembali di rumah, di sekolah, di media, dan di ruang publik, agar ia benar-benar menjadi bagian dari kehidupan warga, bukan sekadar seremoni sesekali. Di situlah letak harapan: bahwa warisan leluhur tetap bisa tumbuh bersama zaman. (*)