Oleh Hamdan eSA
HATIPENA.COM – Sejak tiga bulan lalu, Andank sudah menabung untuk mudik. Ia bekerja sebagai karyawan pabrik di Makassar, dan setiap tahun ia selalu pulang ke kampung halamannya di Kendari. Baginya, mudik bukan sekadar perjalanan pulang, tapi juga ajang pembuktian. Ia ingin keluarganya melihat bahwa hidupnya di kota berjalan baik.
Tetapi di tahun ini berbeda. Harga tiket bus naik drastis, pengeluaran di kota pun makin besar. Andank sempat ragu, tapi bayangan wajah ibunya yang menunggu di beranda rumah membuatnya nekat. Ia rela berdesakan di terminal, membawa oleh-oleh seadanya.
Begitu tiba di desa, ia disambut hangat oleh keluarga. Tapi di tengah kegembiraan itu, ada hal yang mengusiknya. Tetangga sebayanya bercerita tentang kesuksesan mereka: ada yang sudah punya bisnis, ada yang membawa mobil pribadi. Andank hanya tersenyum, menyembunyikan kegelisahan.
Malam harinya, ia duduk di serambi rumah, merenungi makna mudik. Apakah pulang hanya soal pamer kesuksesan? Ataukah seharusnya ia lebih fokus pada kebersamaan? Dalam diam, ia sadar bahwa mudik bukan soal seberapa banyak yang kita bawa, tetapi tentang bagaimana kita kembali—kepada keluarga, kepada akar budaya, dan kepada diri sendiri.
Mudik, selain disebut fenomena, ia semacam “makhluk” sosial musiman yang selalu mewarnai pergerakan masyarakat di Indonesia, terutama menjelang hari raya Idulfitri. Lebih dari sekadar tradisi pulang kampung, mudik mencerminkan keterikatan emosional yang mendalam antara perantau dengan tanah kelahirannya.
Bagi banyak orang, mudik adalah momen untuk kembali ke “akar”, merajut kembali hubungan keluarga, dan meneguhkan identitas sosial yang sering kali tergerus oleh kesibukan di kota. Di balik romantisme mudik, ada dinamika yang lebih kompleks.
Mudik adalah suatu perjalanan emosional penuh romantisme yang menghubungkan seseorang dengan akar budayanya. Dalam konteks budaya Indonesia, mudik memiliki makna mendalam sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga dan leluhur. Lebaran, sebagai momentum utama mudik, menjadi ajang rekonsiliasi dan perayaan kebersamaan setelah setahun penuh di rantau.
Di banyak daerah, mudik dipandang sebagai kewajiban moral bagi perantau. Pulang ke rumah bukan sekadar melepas rindu, tetapi juga menunjukkan eksistensi dan keterikatan dengan keluarga besar. Hubungan kekerabatan yang mungkin renggang akibat jarak dan kesibukan kembali diperkuat dalam pertemuan tatap muka. Ritual seperti sungkem kepada orang tua, berziarah ke makam leluhur, dan berbagi kebahagiaan dengan sanak saudara adalah bagian dari tradisi yang terus dijaga.
Di era modern, makna mudik mengalami pergeseran. Urbanisasi dan pola hidup yang semakin individualistis membuat generasi kini mulai mempertanyakan relevansi mudik. Bagi sebagian, mudik tidak lagi menjadi keharusan, melainkan pilihan. Mudik perlahan bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih fleksibel dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Mudik juga mesti dipandang sebagai perjalanan ekonomi yang memiliki dampak luas. Setiap tahun, arus mudik memicu lonjakan aktivitas ekonomi, baik di sektor transportasi, pariwisata, perdagangan, maupun konsumsi rumah tangga. Perantau yang kembali ke kampung halaman membawa serta aliran uang yang meningkatkan daya beli masyarakat desa. Pasar tradisional ramai, bisnis kuliner meningkat, dan jasa transportasi mengalami lonjakan permintaan.
Di balik perputaran uang ini, mudik juga mengungkap kesenjangan ekonomi antara kota dan desa. Banyak perantau merasa terbebani ekspektasi sosial untuk menunjukkan keberhasilan mereka di kota. Pulang kampung tidak sekadar melepas rindu, tetapi juga membawa “tekanan” untuk membuktikan pencapaian, baik dalam bentuk materi maupun status sosial. Tidak jarang, mereka yang mengalami kesulitan ekonomi justru enggan mudik karena takut menghadapi stigma sosial.
Selain itu, biaya mudik yang semakin tinggi menjadi tantangan tersendiri. Harga tiket transportasi melonjak, biaya konsumsi meningkat, dan kemacetan menjadi faktor yang membuat mudik semakin melelahkan. Dari sisi ekonomi ini, mudik memiliki dua wajah; wajah tradisi yang berdampak positif bagi ekonomi, dan dan wajah ketimpangan antara desa dan kota.
Secara sosial, mudik adalah perjalanan identitas. Dalam proses pulang kampung, seseorang tidak hanya membawa rindu, tetapi juga membawa pengalaman, nilai, dan perubahan yang dialami selama merantau. Bagi banyak orang, mudik menjadi ajang untuk menegaskan kembali jati diri mereka: apakah masih terhubung dengan akar budaya atau sudah mulai beradaptasi dengan kehidupan urban yang lebih individualistis.
Dalam konteks sosial, mudik memperlihatkan dinamika relasi antara perantau dan masyarakat kampung halaman. Di satu sisi, ada kebanggaan bagi mereka yang sukses di kota dan kembali dengan pencapaian yang bisa dibagikan. Di sisi lain, ada juga perasaan keterasingan bagi mereka yang merasa sudah tidak lagi sepenuhnya menjadi bagian dari kampung halamannya. Modernitas dan perubahan pola pikir acap kali membuat perantau mengalami keterputusan sosial dengan lingkungan asal mereka.
Di era digital, makna mudik pun mulai bergeser. Jika dulu mudik adalah satu-satunya cara untuk menjaga silaturahmi, kini teknologi memungkinkan komunikasi jarak jauh yang lebih intens. Munculnya “mudik digital” melalui panggilan video atau media sosial menjadi alternatif bagi mereka yang tidak bisa pulang. Tetapi, koneksi virtual masih sulit menggantikan kehangatan pertemuan dan komunikasi secara langsung.
Demikianlah, mudik merupakan fenomena yang secara kasat mata terlihat biasa-biasa saja. Namun sesungguhnya, ia adalah bentangan perjalanan yang kompleks. Ia adalah perjalanan emosional, ia juga perjalanan ekonomi, dan ia juga perjalanan identitas. (*)
Wallahu a’lam.
Madatte Polman, 25 Maret 2025