Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Musyawarah, Integritas, dan Kritik sebagai Pilar Kekuasaan

March 10, 2025 18:23
IMG-20250310-WA0137

Bagindo Muhammad Ishak Fahmi

Kaba “Catuih Ambuih”

Meritokrasi dalam Kepemimpinan Islam

HATIPENA.COM – Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M, umat Islam menghadapi tantangan besar dalam menentukan pemimpin. Tidak seperti di banyak kerajaan dunia saat itu, di mana suksesi kepemimpinan sering kali diwarnai perebutan kekuasaan dengan kekerasan atau warisan turun-temurun, umat Islam mengadopsi sistem yang lebih berlandaskan meritokrasi, yaitu pemilihan pemimpin berdasarkan kapabilitas dan integritas melalui mekanisme musyawarah (syuro).

Urutan Kekhalifahan Rasyidah dan Durasi Pemerintahannya

Pada awal Islam, kepemimpinan dipegang oleh empat khalifah utama, yang dikenal sebagai Khilafah Rasyidah. Masa ini berlangsung selama 30 tahun, dengan urutan kepemimpinan sebagai berikut:

  1. Abu Bakar Ash-Shiddiq (632–634 M)

Dipilih melalui musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah.

Berhasil mempertahankan persatuan umat Islam pasca wafatnya Nabi.

  1. Umar bin Khattab (634–644 M)

Dikenal sebagai pemimpin yang tegas, adil, dan inovatif dalam administrasi pemerintahan.

Membentuk sistem birokrasi yang lebih rapi dan memperluas wilayah Islam.

  1. Utsman bin Affan (644–656 M)

Berhasil menyusun mushaf Al-Qur’an yang menjadi standar hingga saat ini.

Pemerintahannya mulai diwarnai ketegangan politik yang berujung pada pembunuhannya.

  1. Ali bin Abi Thalib (656–661 M)

Kepemimpinannya dihadapkan pada konflik internal, seperti Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Memiliki kebijakan yang berbasis keadilan, meskipun mengalami perlawanan dari kelompok-kelompok tertentu.

Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, kepemimpinan Islam beralih ke Dinasti Umayyah (661–750 M) yang menggunakan sistem monarki turun-temurun, meninggalkan sistem meritokrasi awal yang berbasis musyawarah.

Dinamika Kepemimpinan di Dunia Saat Itu

Di luar dunia Islam, pergantian kekuasaan pada era yang sama cenderung brutal dan otoriter, misalnya:

Kekaisaran Romawi ; Banyak kaisar naik tahta melalui kudeta atau pembunuhan politik, seperti Julius Caesar yang dibunuh oleh Senat.

Dinasti Tiongkok ; Sistem suksesi sering diwarnai perang saudara, seperti pada masa peralihan antara Dinasti Han dan Dinasti Tang.

Kekaisaran Persia Sasaniyah ; Perebutan tahta sering kali terjadi di dalam keluarga kerajaan sendiri dengan mengorbankan ribuan nyawa.

Di tengah situasi dunia yang penuh dengan intrik dan kekerasan politik, sistem Islam pada era awal lebih berlandaskan pada musyawarah dan keterpilihan berdasarkan kualitas individu, meskipun tetap menghadapi tantangan dalam implementasinya.

Meritokrasi dalam Islam

Secara etimologi, meritokrasi berasal dari bahasa Latin meritum (layak atau pantas) dan Yunani kratos (kekuasaan). Sistem ini menekankan bahwa kepemimpinan harus diberikan kepada mereka yang memiliki kualitas terbaik dalam hal kecerdasan, moralitas, dan keadilan.

Dalam Islam, meritokrasi diterapkan melalui syuro (musyawarah), yang melibatkan individu-individu yang memiliki kapasitas berpikir tinggi, kritis, dan analitis. Ini merupakan perpaduan antara aristokrasi dan demokrasi:

Aristokrasi ; Pemimpin dipilih berdasarkan kualitas terbaik dalam berpikir, berakhlak, dan berpengetahuan.

Demokrasi ; Keputusan dibuat melalui musyawarah yang melibatkan keterwakilan orang-orang yang berintegritas.

Makna Ungkapan Minang dalam Kepemimpinan :

Ungkapan Minang “barundiang samo pandai, baretong sampai sudah, mangaruak sahabih saruang” mengandung filosofi yang mendalam dalam proses memilih pemimpin:

“Barundiang samo pandai” ; Musyawarah harus melibatkan orang-orang yang memiliki wawasan dan kecerdasan yang setara.

“Baretong sampai sudah” ; Diskusi harus dilakukan hingga keputusan yang jelas dan tegas tercapai.

“Mangaruak sahabih saruang” ; Setiap keputusan harus diambil setelah mempertimbangkan segala kemungkinan dengan teliti.

Makna dari ungkapan ini sangat relevan dalam konteks kepemimpinan Islam. Seorang pemimpin harus dipilih dengan proses yang cermat dan tidak terburu-buru, serta memiliki kriteria utama seperti:

Kepercayaan (Trust); Mampu menjaga amanah dan dipercaya oleh masyarakat.

Integritas; Bukan hanya jujur secara pribadi, tetapi juga memiliki keberanian moral untuk menegakkan keadilan dan bukan bagian dari pemufakatan jahat.

Kompetensi ; Memiliki pengetahuan yang luas dan kemampuan kepemimpinan yang baik.

Empati ; Dekat dengan masyarakat dan memahami kondisi sosial yang ada.

Menjawab Kritik dengan Keterbukaan, Bukan Represi

Pemimpin yang baik harus mampu menerima kritik dengan bijaksana dan menggunakannya untuk memperbaiki kebijakan. Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang membungkam kritik cenderung menciptakan pemerintahan yang otoriter dan akhirnya runtuh.

Kekaisaran Romawi runtuh karena korupsi dan represi terhadap suara rakyat.

Kerajaan Prancis sebelum Revolusi 1789 tumbang akibat ketidakmampuan menerima kritik dari rakyat miskin.

Rezim otoriter modern sering kali berakhir dengan revolusi akibat ketidakpuasan yang terus membesar.

Dalam Islam, kritik bukanlah ancaman, tetapi sarana untuk memperbaiki pemerintahan. Seorang pemimpin tidak boleh menjawab kritik dengan kriminalisasi, karena hal ini justru akan membuat rakyat semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahannya.

Pendapat Ibnu Khaldun tentang Kepemimpinan

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menekankan bahwa kekuatan suatu pemerintahan bergantung pada tiga faktor utama:

  1. Asabiyyah (solidaritas sosial) ; Pemimpin harus menjaga kesatuan rakyat dan tidak hanya berpihak pada kelompok tertentu.
  2. Keadilan ; Pemerintahan yang tidak adil akan cepat runtuh karena kehilangan legitimasi.
  3. Stabilitas ekonomi ; Pemimpin yang baik harus mampu mengelola kesejahteraan rakyatnya.

Ibnu Khaldun juga mengkritik pemimpin yang anti-kritik dan otoriter. Menurutnya, jika sebuah pemerintahan terlalu sibuk membungkam suara berbeda daripada memperbaiki kebijakan, maka kejatuhannya hanya tinggal menunggu waktu.

Sejarah menunjukkan bahwa Islam mengajarkan sistem kepemimpinan yang berbasis pada meritokrasi, kepercayaan, integritas, kompetensi, dan empati. Sistem syuro pada era kekhalifahan awal mencerminkan perpaduan antara aristokrasi dan demokrasi, di mana pemimpin dipilih berdasarkan kualitasnya, bukan hanya warisan atau kekuatan.

Pemimpin sejati bukan hanya jujur dalam kehidupan pribadi, tetapi juga memiliki keberanian moral untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak-hak rakyatnya. Dalam konteks ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, pemerintahan yang kuat bukanlah yang membungkam kritik, tetapi yang mampu mendengarkan rakyat, menjawab kritik dengan solusi, dan membangun solidaritas sosial yang kokoh.

“Terinspirasi dari Ceramah Anies Baswedan di Masjid Salman ITB” 8/3/25. (*)

Padang, 2025