Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Konon, puncak ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Tapi tahun ini, tampaknya ada tambahan rukun haji yang tidak tercatat, yaitu jalan kaki berjam-jam dari Muzdalifah ke Mina sambil menahan lapar, haus, dan sumpah serapah.
Ya, beginilah nasib ribuan jemaah haji Indonesia tahun 2025. Alih-alih dijemput bus seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka justru mendapat “bonus” pengalaman spiritual, yaitu berjalan kaki menempuh perjalanan panjang hingga tujuh kilometer. Katanya sih, biar berasa hajinya dan terasa lebih husyuk. Semacam syiar ketahanan fisik dalam beribadah, mungkin begitu niat mulianya.
Menurut laporan dari berbagai daerah, lansia dan ibu-ibu harus berjalan tanpa arah, menggelandang mirip tuna wisma. Sejumlah pagar pembatas jebol akibat desakan jamaah, entah karena terlalu semangat ingin sampai ke Mina atau sekadar ingin mendapatkan true story sebagai bukti pernah naik haji.
Kekacauan ini, kata Ketua IPHI Jawa Barat, Dr. Ijang Faisal, bukan sekadar salah standar operasional prosedur (SOP). Ini sudah masuk wilayah spiritual tingkat tinggi, yaitu menguji kesabaran, keteguhan hati, dan kekuatan dengkul.
Katanya, sistem baru berbasis syarikah ini belum siap, tapi langsung diuji coba seperti mahasiswa magang disuruh nulis konsep pidato pak camat. Hasilnya? Ribuan jemaah telantar, sebagian nyasar, dan sisanya pasrah dalam keadaan nestapa. Mungkin inilah ujian keikhlasan di Tanah Suci.
Elza Peldi Taher, seorang Jemaah haji asal Jakarta, mengalami getirnya pelayanan haji yang semrawut dan ugal-ugalan. Di Arafah, suasana masih lumayan. Tenda ber-AC, kamar mandi bersih, antrean nggak sepanjang utang negara. Tapi begitu malam tiba dan rombongan hendak bergerak ke Muzdalifah, wajah ramah ibadah tadi berubah drastis – jadi acak-acakan, kacau balau.
Bahkan ada jemaah Indonesia yang menjadi korban pemerasan oleh sopir taksi. Mereka dipaksa membayar 800 Riyal atau setara sekitar Rp4 juta, untuk menempuh jarak yang hanya tak sampai 2 kilometer.
Anehnya, ini hanya terjadi pada jemaah haji Indonesia. Jemaah negara lain aman-aman saja. Tak ada drama pagar roboh, tak ada rombongan lansia maraton dini hari. Apa kita terlalu banyak berharap, atau terlalu sering dijadikan kelinci percobaan? Mungkin karena jemaah kita banyak, jadi dianggap bisa ‘menyesuaikan’. Toh orang Indonesia kan terkenal sabar, tabah, dan tidak pernah demo di padang pasir.
Dr. Ijang bahkan curiga, jangan-jangan ini sabotase internal ke Dirjen Haji. Kalau betul, sungguh ini skenario yang cocok dijadikan sinetron religi: “Musafir yang Terluka”. Pemeran utama: deputi pelayanan haji yang penuh dedikasi. Antagonisnya? Ya, bisa siapa saja. Termasuk mereka yang menjanjikan ibadah haji furoda.
Tapi ada satu pertanyaan yang masih muter-muter dan belum terjawab. Apakah ini ada kaitannya dengan penambahan quota haji reguler tahun lalu? Tahun 2024, Indonesia mendapat tambahan kuota haji reguler dari Arab Saudi sekitar 20 ribu jemaah. Sebuah berkah besar, konon untuk mengurangi beban antrean haji yang di beberapa daerah sudah tembus 30 hingga 45 tahun.
Tapi apa yang terjadi? Sebagian besar kuota tambahan itu justru dialihkan untuk haji plus dan haji furoda, jalur tidak resmi yang bebas antre tapi mahalnya minta ampun. Dan lebih tragis lagi, praktik ini diduga melibatkan makelar haji yang berseliweran di kantor Kementerian Agama, lengkap dengan jas, dasi, dan doa pembuka acara.
Konon, jatah itu dijual – pakai harga, pakai komisi, pakai berkat. Dan yang dapat “berkat” bukan cuma si makelar, tapi sang pemegang kuasa yang duduk di istana. Lalu, ketika kontroversi ini meledak, sang oknum malah dikabarkan “melancong” ke luar negeri. Sampai kini, dia belum juga pulang. Entah karena takut, entah karena masih sibuk umrah berkeliling dunia.
Tahun 2025 ini, Arab Saudi mengambil langkah tegas, tidak lagi menerbitkan visa haji furoda. Bahkan pelayanan transportasi di arena ibadah haji dibatasi. Apakah ini sinyal hukuman? Teguran? Atau bahasa halus agar Indonesia belajar malu?
Kalau benar ini adalah bentuk protes diplomatik dari Riyadh, maka betapa rusaknya sistem kita. Betapa tega para pejabat – yang mengaku paham agama, mengutip ayat dalam setiap rapat, dan berteriak “amar ma’ruf” dalam forum publik, ternyata menindas rakyat yang cuma ingin menunaikan rukun Islam kelima.
Bayangkan, ada seorang tukang cuci yang menabung sejak zaman SBY, jual kambing, simpan emas, dan antre 38 tahun untuk berangkat haji. Tapi giliran ada tambahan kuota, yang naik haji justru pengusaha-pengusaha tajir yang memiliki uang tak berseri. Sementara rakyat kecil cuma dapat jatah doa dari kejauhan.
Tapi kita tetap bersyukur, karena setidaknya jemaah kita punya cerita epik. Bisa pulang haji dan bilang ke cucunya, “Dulu kakek naik haji bukan pakai bus. Kakek jalan kaki! Kayak para sahabat Rasul!” Entah cucunya kagum atau kasihan, itu soal nanti.
Yang jelas, ini pelajaran penting. Haji itu bukan cuma soal spiritual, tapi juga soal fisik. Dan nampaknya, kita masih harus belajar dari negara lain yang lebih paham bahwa tamu Allah tidak layak dijadikan bahan eksperimen. Dan semoga ini juga bukan merupakan sanksi dari pemerintah Arab Saudi yang mempermainkan quota haji. (*)
Bandarlampung, 8 Juni 2025
#MakDacokPedom