Muhamad Hasan Basri, S.Ag., M.Pd. *)
HATIPENA.COM – Hari Kenaikan Isa Almasih yang diperingati umat Kristiani sering kali berlalu begitu saja bagi kita, umat Islam. Padahal, Isa bukanlah sosok asing. Ia adalah nabi agung yang dijunjung tinggi dalam Al-Qur’an. Isa disebut sebagai Ruhullah (roh dari Allah) dan Kalimatullah (firman Allah)—gelar spiritual yang tidak disematkan kepada nabi lain. Ia adalah pribadi suci yang hidupnya penuh keajaiban dan pesan keteladanan.
Dalam Surah An-Nisa ayat 158, Allah menegaskan bahwa Isa tidak disalib, tetapi diangkat ke hadirat-Nya. Namun, jika kita hanya terpukau oleh mukjizatnya, kita bisa luput dari makna terdalam: bahwa “kenaikan” bukan sekadar peristiwa fisik, melainkan lambang perjalanan ruhani—transendensi menuju kesadaran yang lebih tinggi, lebih jernih, dan lebih dekat dengan Tuhan.
Komaruddin Hidayat dalam bukunya Psikologi Kematian (2003) menafsirkan “langit” sebagai simbol kesadaran tertinggi dalam kehidupan spiritual. Naik ke langit berarti melepaskan beban-beban duniawi: ego, ambisi, dan nafsu kekuasaan. Maka, saat Isa naik, semestinya kita yang masih di bumi justru belajar untuk turun—menurunkan ego, meredam kesombongan, dan menyemaikan kasih dalam relasi antarmanusia.
Budhy Munawwar-Rachman dalam Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (2001) menggugat keberagamaan kita yang cenderung formalistik—sibuk pada simbol dan ritus, tetapi lalai pada inti ajaran: akhlak dan cinta. Kita fasih dalam hafalan doa, tapi mudah memaki. Kita tekun beribadah, tapi gampang membenci. Di tengah wajah agama yang kian tegang, Isa hadir sebagai cermin: seorang nabi yang lembut, pemaaf, dan tidak pernah membalas kebencian dengan kebencian.
Lebih dalam lagi, Kausar Azhari Noer dalam bukunya Isa Al-Masih dalam Al-Qur’an dan Tafsirannya (2016) menafsirkan Isa sebagai simbol keikhlasan dan jalan sunyi. Ia adalah sosok yang menolak kekuasaan duniawi, tapi justru ditinggikan oleh Tuhan. Ini menjadi pelajaran penting bagi kita yang hidup dalam arus kompetisi dunia: jabatan, pengaruh, dan status sering dikejar habis-habisan, padahal Tuhan justru meninggikan mereka yang rendah hati dan tulus.
Kenaikan Isa menyiratkan bahwa jalan menuju langit bukanlah dengan menguasai, melainkan dengan mengasihi. Bukan dengan mendominasi, tapi dengan melayani. Di tengah dunia yang makin bising oleh ego dan kepentingan, kita justru ditantang untuk menjadi tenang, lembut, dan penuh welas asih.
Saat Isa naik, marilah kita turun. Turun dari kesombongan. Turun dari rasa paling benar sendiri. Turun ke dalam hati yang penuh kasih. Sebab dalam spiritualitas, yang sejatinya “naik” adalah mereka yang berani merendah. Dan yang ditinggikan Tuhan, bukan mereka yang memaksakan diri naik, tapi yang ikhlas melepaskan dunia demi kedamaian jiwa. (*)
*) Kasi PAPKI Kantor Kemenag Kabupaten Tanggamus