Penulis : Ririe Aiko
HATIPENA.COM – Makin dekat hari raya, suasana kantor berubah. Pegawai tetap mulai menghitung hari, bukan untuk beribadah lebih khusyuk, tapi menanti sesuatu yang lebih suci: THR.
Duduk manis di meja, mereka tak perlu repot-repot. Seperti mujizat, saldo rekening akan bertambah dengan sendirinya. Beberapa bahkan sudah mulai cicil pesan tiket mudik, beli baju lebaran, atau paling tidak, upgrade skincare biar pas kumpul keluarga, muka tetap kinclong meski dompet mulai kering.
Lain cerita dengan para penulis. Profesi yang katanya mulia, katanya intelektual, katanya pembawa suara kebenaran, tapi realitanya? Mereka justru makhluk paling rentan di ekosistem ekonomi.
Ketika pegawai sibuk refresh mutasi rekening, penulis sibuk refresh email, menunggu kabar naskah diterima atau ditolak. THR? Jangan mimpi! Yang ada malah pesan WhatsApp dari penerbit:
“Maaf, kami belum bisa membayar honor tulisan Bapak/Ibu, soalnya penjualan buku sedang lesu.”
Gimana nggak lesu, kalau orang-orang lebih suka beli Gaya daripada beli Buku.
Di negara dengan budaya literasi rendah, di mana orang lebih semangat joget-joget TikTok ketimbang baca narasi panjang, nasib penulis memang mengenaskan. Tulisan tentang kebenaran? Kalah jauh sama konten review skincare atau prank bagi-bagi uang di lampu merah.
Lalu, apakah penulis menyerah? Tentu tidak. Mereka tetap menulis, tetap menyuarakan kebenaran, meskipun penghasilan tak lebih stabil dari sinyal Wi-Fi gratisan di warung kopi.
Jadi, ketika hari raya tiba, pegawai tetap tersenyum melihat notifikasi saldo masuk. Sementara para penulis? Mereka hanya bisa tersenyum menghibur diri dengan keyakinan bahwa kebenaran memang tidak selalu dihargai di dunia, tapi siapa tahu ada THR di akhirat? (*)