Abustan
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta
HATIPENA.COM – Dalam masyarakat modern jika disebut negara, di sana terdapat adanya pilar utama yang masing-masing berdiri sejajar dan saling memperkuat.
Hal tersebut, dapat dirincikan dan didetailkan bahwa negara adalah material dan harus melekat nilai akuntabilitas. Ketidakpastian itu adalah wilayah sebelum masuk kewilayah material dan positivisme. Di wilayah ketidakpastian itulah bisa terjadi paradoks _ paradoks pada setiap sisi dalam kehidupan.
Karena itu, adanya negara yang material membatasi strategi politik apa pun dan harus taat pada azas, etika, dan batasan hukum. Sementara, agama adalah lembaga sosial yang tak berhenti diperdebatkan manusia. Walaupun konsep agama sebagai institusi sosial diperkirakan baru muncul dalam peradaban manusia sekitar 5.000 tahun belakangan (Hindunisme) atau 50.000 tahun (Animisme). Jadi, sepanjang umur agama itu pula agama tak bisa dilepaskan dari fenomena dan perdebatan sosiologis.
Bahkan, di masa depan dinamika kehidupan yang sangat diwarnai teknologi terus akan berbenah dan berlangsung. Sehingga nasehat spiritual yang kita dengar tak hanya lagi dari ulama, pendeta, atau biksu. Tetapi di era digital ini, mungkin saja peran ke depan lebih banyak dari AI (Artificial Intelligence).
Meskipun demikian, pergumulan dinamika ini tetap saja memantik pertanyaan terbesar : apakah kita semakin dekat dengan makna hidup yang kita dambakan atau sebaliknya justru semakin menjauh?
Satu hal yang pasti, sosiologi agama klasik menjadi fondasi yang tak lagi cukup menjelaskan fenomena agama di era AI. Tak terkecuali juga pendapat para raksasa kaum sosiolog sekaliber Emile Durkhein, Aguste Comte, Max Weber, Karl Marx juga analisis dan teorinya tak mampu menjangkau fenomena yang ada di era moderen sekarang ini
Oleh sebab itu, mengingat agama dan negara sama_sama hidup dan diperlukan keberadaannya, sehingga tak dapat diingkari seringkali terjadi konflik antara agama dan negara. Dengan menganut sistem sekularisme politik, di Barat agama menjadi urusan privat.
Maka dari itulah, negara tak boleh mencampuri urusan agama yang bersifat pribadi. Tetapi dikalangan umat Islam hubungan agama dan negara masih belum “selesai”. Orang beragama masih sering memperhadapkan antara konstitusi dan kitab suci sebagai kerangka acuan kehidupannya.
Sekali lagi, mengingat di Indonesia peran agama sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan, ditambah jumlah umat Islam mayoritas. Akan tetapi, harus diakui secara ekonomi mereka kalah bersaing, maka acapkali muncul ketegangan antara agama dan negara. Olehnya itu, tak heran kalau di sana-sini muncul riak-riak radikalisme dengan ekspresi agama. Sesungguhnya, jika dicermati akar masalah pokoknya bukan di ajaran agamanya, melainkan ketidakadilan ekonomi dan akses politik yang membuat mereka marah dan kehilangan kontrol emosional.
Dalam konteks ini, tampak dalam ranah sosial_politik hubungan antara negara dan agama di tengahnya dipengaruhi oleh pasar atau korporasi dan civil society. Inilah yang mengemuka dan paling berpengaruh adalah kekuatan uang yang diorkestrasi oleh para pebisnis dan oligarki yang mendapat restu dari negara.
Lalu, diikutsertakan agama (dilegitimasi) sebagai kosmetik dan topeng untuk menutupi wajah pelaku usaha (oligarki) dalam “menancapkan” ekspansi bisnisnya untuk menguasai tanah para petani (masyarakat sipil) dengan cara yang kotor.
Maka, agama mestinya menjadi kekuatan sipil dan pilar peradaban yang kokoh dan mandiri sehingga berwibawa di hadapan para oligarki. Sebab, bagaimanapun keberadaan bisnis pelaku usaha yang membuat masyarakat jadi miskin adalah tidak hanya kekacauan di bidang ekonomi, tetapi melainkan juga dalam cakrawala perikemanusiaan yang seharusnya dijaga sebagai sesuatu yang amat tinggi nilainya. (*)
Selamat Berpuasa di hari ke-3 Ramadan