Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Hari itu adalah hari yang tenang di Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi. Para pegawai bekerja sebagaimana mestinya, mengetik laporan, mengajukan anggaran, dan tentu saja, menahan kantuk di tengah rapat yang lebih membosankan dari acara masak-masak tanpa bumbu. Namun, ketenangan itu hancur seketika. Tiba-tiba, sebuah aksi teatrikal absurd meledak di depan kantor. Bukan flashmob, bukan konser dadakan, melainkan sekelompok orang berbadan kekar yang merasa dunia harus tunduk pada keberadaan mereka. Mereka adalah oknum Ormas.
Mereka datang dengan satu tujuan, bertemu kepala dinas. Namun, seperti manusia biasa yang punya jadwal rapat, kepala dinas sedang tidak di tempat. Tentu saja, alih-alih memahami konsep janji temu atau teknologi canggih bernama telepon, mereka justru memilih jalur lebih modern, ngamuk-ngamuk, buang sampah, dan menghias kantor dengan tanah merah. Karena, tentu saja, tidak ada cara lebih efektif untuk menuntut audiensi selain mengubah tempat kerja orang jadi TPS dadakan.
Tak berhenti di situ, salah satu anggota sadar akan keberadaan CCTV. Lalu ia melakukan aksi balas dendam terbesar dalam sejarah dunia digital: Menjulurkan Lidah ke Arah Kamera. Sungguh suatu tindakan revolusioner. Ia bisa mengguncang tatanan pemerintahan! Siapa sangka, dengan sekali julur lidah, kekuasaan negara bisa dipertanyakan? Pasti para hacker dunia kini sedang mempertimbangkan strategi baru. Bukan lagi serangan siber, cukup kirim video orang julur lidah di depan kamera untuk meruntuhkan institusi pemerintahan.
Sementara di luar, anggota lain memamerkan kreativitas mereka dalam seni urban destruction. Sampah di bak ditumpahkan. Apa saja di sekitar mereka dihamburkan. Jalan menuju Dinkas penuh dengan material. Seolah-olah Dinkes menjadi musuh besar mereka. Luar biasa. Dengan pakaian bak tentara Ukraina ingin menghancurkan kantor Dinkes.
Mungkin mereka ingin menunjukkan dalam hirarki kebrutalan, ormas memiliki spesialisasi dalam mengolah lingkungan menjadi lebih ‘menarik’. Atau bisa jadi ini adalah eksperimen sosial untuk menguji daya tahan pegawai negeri terhadap serangan mendadak dari elemen-elemen yang, secara teknis, hanya bisa dijelaskan oleh psikolog forensik.
Tentu saja, setelah polisi turun tangan, tiba-tiba semua amarah dan semangat revolusi mereka menguap begitu saja. Seperti balon udara yang kehilangan gas, mereka pun akhirnya memilih opsi ‘berdamai’ dengan Dinkes. Tidak ada drama lanjutan, tidak ada debat intelektual soal hak dan kewajiban, hanya sekadar minta maaf dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Wah, betapa indahnya hidup ini kalau semua kejahatan cukup ditebus dengan permintaan maaf.
Bayangkan jika bank dirampok, lalu pelakunya bilang, “Maaf ya, nggak bakal ngulangin lagi,” lalu semua beres. Atau kalau orang menerobos lampu merah, lalu cukup tersenyum ke kamera tilang elektronik sambil mengedipkan mata, dan denda pun langsung dibatalkan. Sayangnya, dunia nyata tidak seindah itu. Kecuali, tentu saja, jika kamu adalah bagian dari kelompok yang memiliki otot lebih besar dari otak.
Aksi anarkis okunum ormas ini bukanlah pertama. Entah kenapa, kita semua tahu ini juga bukan yang terakhir. Dari sweeping warung di bulan puasa, ‘minta THR’ ke pengusaha, hingga menciptakan event dadakan berupa ‘demonstrasi dengan setting kekerasan,’ ormas sepertinya telah menemukan model bisnis paling stabil. Kekuatan massa yang bisa digunakan untuk apapun, asal sesuai kepentingan mereka.
Lebih ironis, banyak dari kelompok ini berlindung di balik jargon nasionalisme atau kepentingan umat. Padahal, cara kerja mereka lebih mirip perusahaan jasa keamanan ilegal. Mereka masuk ke arena, menciptakan masalah, lalu tiba-tiba muncul dengan solusi (berupa damai atau ‘pengamanan’), seolah-olah mereka adalah pahlawan. Ini bukan lagi ormas dalam arti sebenarnya, tapi lebih seperti franchise premanisme. Lebih parah lagi, mereka seperti dilindungi tokoh politik. Kadang dijadikan alat oleh politisi, penguasa, dan pengusaha. Negeri ini pun terasa ormas.(*)
#camanewak