Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Nepotisme Teologis

June 5, 2025 11:07
IMG-20250605-WA0033

Menyambut Idul Adha 1446H

Catatan Cak AT

HATIPENA.COM – Setiap Hari Raya Idul Adha, kita mengenang kembali drama keluarga paling ikonik dalam sejarah tiga agama besar: saat seorang ayah bernama Ibrahim nyaris menyembelih anaknya karena “diperintahkan oleh Tuhan”. Sebuah peristiwa nyaris yang kini diperingati dalam bentuk ibadah kolosal melalui penyembelihan hewan kurban.

Episode ini telah “tayang” berabad-abad, dengan berbagai remake: versi Taurat, versi Injil, dan tentu saja versi al-Qur’an. Namun, seperti sinetron yang kerap dipotong sensor atau dimanipulasi rating-nya, narasi tentang siapa anak yang hendak disembelih pun kerap dikaburkan oleh kepentingan teologis.

Kita, umat Muslim, mengenal anak itu sebagai Ismail —anak sulung, anak yang sabar, anak yang pertama kali diajak Ibrahim naik ke gunung untuk ‘mengaji akidah dengan cara ekstrem’. Tapi sebagian kalangan Yahudi dan Kristen bersikukuh bahwa anak itu adalah Ishak —si anak emas dari Sarah, yang dianggap sebagai pewaris sah janji Tuhan.

Tak heran bila banyak non-Muslim menempatkan Ismail dalam daftar tokoh pinggiran — tak layak tampil di panggung utama nubuat. Bahkan, sebagian menyebut keturunan Ismail (baca: bangsa Arab) sebagai ‘anak haram sejarah’ yang tersesat masuk ke dalam kisah suci.

Namun tunggu dulu. Buku baru Abraham Fulfilled: A Biblical Study of God’s Plan for Ishmael and Arabia, karya Abu Zakariya, Adnan Rashid, dan Zakir Hussain, terbitan Sapience Publishing (2024), hadir bak alarm weker di pagi hari Idul Adha yang sedang kita rayakan. Ia mengganggu kenyamanan tidur dogma lama.

Buku ini membangunkan kita dari lelap sejarah sepihak — sejarah yang selama ini ditulis dan dikaji oleh kalangan non-Muslim. Ia bukan sekadar mengoreksi bias lama, tapi juga membongkar kacamata buram yang selama ini dikenakan dalam membaca posisi Ismail dalam sejarah kenabian.

Buku Abraham Fulfilled adalah karya apologetik dan polemis. Ketiga penulisnya dikenal di Inggris senagai tokoh aktif dalam dunia debat lintas agama, terutama antara Islam dan Kristen, dengan latar keilmuan dan spesialisasi yang saling melengkapi.

Abu Zakariya adalah penulis utama sekaligus penyusun struktur naskah. Ia peneliti independen dan penulis produktif dalam bidang teologi perbandingan, dengan fokus pada kajian kritis terhadap Alkitab dan doktrin Kristen dari perspektif Islam. Gayanya analitis-retoris, memadukan logika, kutipan kitab suci, dan pendekatan filosofis.

Adnan Rashid, orator dan debater ulung yang kerap tampil dalam debat publik dengan pendeta dan akademisi Kristen, menyumbangkan perspektif historis. Latar belakangnya dalam sejarah dan ilmu hadis memperkuat bagian-bagian buku yang mengupas asal-usul kitab suci dan kritik terhadap proses transmisi serta perubahan teks dalam Perjanjian Lama dan Baru.

Sementara Zakir Hussain, apologet Muslim spesialis teologi Kristen dan filsafat agama, menyoroti aspek linguistik dan argumentatif. Ia memperkaya buku dengan analisis tafsir nubuatan, penafsiran logis, serta pendekatan rasional dalam memahami wahyu dan kenabian.

Dalam Abraham Fulfilled, ketiganya bersinergi: Abu Zakariya sebagai arsitek utama naskah, Adnan Rashid sebagai penggali data historis dan kritik teks, serta Zakir Hussain sebagai penafsir argumentatif dan teologis.

Buku ini tak sekadar membantah klaim eksklusivitas dalam tradisi Kristen, melainkan juga menawarkan reinterpretasi konstruktif atas nubuat-nubuat Perjanjian Lama, khususnya terkait figur Ibrahim dan keturunannya.

Ia menyajikan argumen sistematis dan berbasis data bahwa Ismail bukanlah figuran dalam drama Ibrahim, melainkan penghubung utama antara janji Tuhan kepada Abraham dan kemunculan seorang tokoh besar yang mengubah sejarah dunia: Muhammad SAW.

Para penulis tak hanya menyodorkan ayat-ayat Bibel sebagai bukti, tapi juga merajut ulang kepingan nubuat yang selama ini dianggap acak, menjadi satu anyaman yang mereka sebut “Arabian Prophecies”.

Dengan gaya apologetik modern, buku ini memadukan pendekatan tafsir, linguistik Ibrani-Yunani, serta literatur rabinik dan Kristen. Mereka bekerja layaknya tim forensik sejarah yang membuka kembali kasus lama yang terlalu cepat ditutup.

Dan yang mereka temukan bisa membuat para pengkhotbah dogmatis berkeringat dingin: bahwa ada benang merah nubuat dari Arabia yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Pada akhirnya, kita semua terjebak dalam drama silsilah. Salah paham besar antarumat berakar dari satu hal: konflik keluarga. Ismail — anak sulung dari selir (Hajar) — dianggap kurang sah dibanding Ishak, anak dari istri resmi (Sarah). Silsilah dijadikan ajang pertempuran simbolik untuk menentukan siapa pewaris janji Tuhan yang sah.

Namun, buku ini menunjukkan bahwa janji Tuhan kepada Ibrahim tak bersifat eksklusif pada satu garis keturunan. Dalam Kejadian 17:20, Tuhan berjanji: “Tentang Ismael… Aku akan membuat dia sangat banyak… menjadi bangsa yang besar.”

Pertanyaannya: bangsa besar yang mana? Apakah bangsa Arab tidak memenuhi kriteria itu? Apakah sejarah Islam tidak cukup menunjukkan bahwa janji itu telah ditepati?

Saatnya menghentikan theological nepotism. Idul Adha tahun ini jatuh pada hari Jumat, jamaah wukuf di Arafah — puncak ibadah haji. Di sanalah umat Islam mengenang kembali pengorbanan Ibrahim: bukan hanya simbol ketundukan, tapi juga sebagai momen pelurusan sejarah.

Mari kita berhenti mempraktikkan theological nepotism (nepotisme teologi) — kecenderungan mengangkat satu anak dan mendegradasi yang lain hanya karena perbedaan ibu.

Sebaliknya, rayakan Idul Adha sebagai momentum untuk membuka kembali dialog antariman secara jujur dan setara.

Buku Abraham Fulfilled adalah alat bantu yang tepat untuk itu. Ia bukan senjata debat, melainkan jembatan pengertian. Ia tak datang untuk memonopoli kebenaran, tetapi untuk menata ulang cara pandang terhadap kebenaran lama.

Bagi pembaca Kristen dan Yahudi yang penasaran atau skeptis, buku ini bukan ajakan untuk pindah agama, melainkan undangan untuk membaca ulang kitab suci Anda dengan kacamata yang lebih bersih.

Dan bagi umat Islam, buku ini adalah pengingat bahwa tradisi intelektual harus terus dirawat — bukan dengan retorika usang, tapi dengan riset segar dan pendekatan terbuka.

Sebab, di tengah dunia yang riuh oleh kebisingan teologis, terkadang yang paling kita butuhkan bukan argumen baru, melainkan cara pandang baru terhadap kebenaran lama.

Selamat Hari Raya Idul Adha. Mari rayakan bukan hanya dengan daging kurban, tetapi juga dengan menyembelih ego sejarah dan prasangka turun-temurun.

-OOO-

Catatan:
Buku Abraham Fulfilled tersedia gratis dan dapat diunduh di situs resmi Sapience Institute: www.sapienceinstitute.org. Cocok dibaca sambil menunggu kambing matang di atas bara. (*)

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 5/6/2025