Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Ngayah adalah wujud bakti. Ia lahir dari ketulusan, bukan pameran. Ia bukan sekadar hadir dan membantu, tetapi memahami makna dan tata cara yang benar.
Dalam upacara di pura, umat Hindu berlomba-lomba berpartisipasi. Mereka ingin berbuat sesuatu demi suksesnya odalan atau upacara yang dilaksanakan tersebut.
Namun, di sinilah paradoksnya: ngayah yang dilakukan tidak selalu tepat.
Tarian Rejang, misalnya. Sebuah tarian sakral yang seharusnya menjadi persembahan suci. Apakah yang menari itu benar-benar mempersembahkan tariannya kepada Ida Bhatara sebagai bagian dari upacara?
Atau hanya ingin memeriahkan suasana, menari elag-elog menghibur pemedek, khususnya para pria yang memadati pelataran pura itu?
Jika tarian itu bagian dari upacara, maka mereka yang menari itu setara dengan banten, tarian itu sebuah persembahan yang harus diperlakukan dengan kesakralan yang sama.
Dan jika benar demikian, maka aturan dan tata caranya harus mengacu pada pemuput upacara, bukan keinginan pribadi atau kesenangan semata, sebab itu “banten”, itu persembahan. Ile-ile dahat niki.
Jika tarian itu tak ada hubungannya dengan upacara dan bukan bagian dari ritual, lalu mengapa ia ada di sana?
Elag elog pada saat berupacara? Bukankah itu berarti mereka telah mengganggu jalannya upacara? Mengganggu kekhusyukan umat yang datang untuk berdoa, bukan untuk menikmati tontonan? Mengganggu orang yang sedang bersembahyang adalah kesalahan besar.
Dan menjadi lebih paradoks lagi ketika kaum cerdik pandai, para akademisi yang seharusnya paham akan hal ini, justru diam atau bahkan bagian dari kesalahan besar ini katena ikut menikmatinya.
Mereka yang berilmu, yang seharusnya menjadi penjaga nilai-nilai ajaran leluhur, justru abai. Mestinya mereka yang pertama kali bersuara, mengingatkan, meluruskan. Tetapi di zaman ini, beranikah menegur, atau jangan-jangan tidak tahu sebagai kesalahan.
Kita hidup dalam dunia paradoks. Ngayah yang seharusnya suci malah menjadi ajang eksistensi. Kesalahan yang seharusnya dikoreksi malah dirayakan. Ilmu yang seharusnya menjadi penerang malah dibiarkan redup.
Maka, sebelum segalanya semakin jauh, sebelum ngayah berubah menjadi sekadar hiasan tanpa makna, mari bertanya pada diri sendiri: apakah benar-benar ngayah, atau hanya mencari panggung dalam kesucian?
Denpasar, 2 Februari 2025