Elza Peldi Taher
HATIPENA.COM – Lebaran baru saja usai. Udara di Cinere masih menyimpan sisa wangi ketupat dan gema takbir yang menggantung pelan di langit biru. Saya duduk di sebuah kios cukur kecil di pinggir jalan, di kursi dengan cermin besar di hadapan, menatap rambut sendiri yang mulai tak karuan.
Di belakang saya berdiri sosok bertubuh kekar. Rambut gondrong diikat ke belakang, lengannya penuh tato—seperti peta luka dan keberanian yang dilukis oleh waktu. Tangannya menggenggam gunting dan sisir, seolah sudah menjadi perpanjangan tubuhnya.
Namanya Toto. Tukang cukur yang ramah, dan tampaknya menikmati obrolan seperti ia menikmati ketepatan tiap guntingan.
“Saya sudah lama, Pak, jadi tukang cukur,” katanya sambil mulai merapikan bagian samping rambut saya. “Tapi sekarang sepi. Sebelum pandemi, bisa dua puluh lima orang sehari. Sekarang? Lima belas pun sudah syukur. Banyak orang lebih milih cukur sendiri. Mungkin sekalian ngirit.”
Saya mengangguk. “Dulu kerja apa sebelum ini mas?”
“Supir truk. Seluruh Indonesia udah saya jalani. Dari Banda Aceh sampai Timika. Jalanan itu rumah saya, langit itu atapnya, dan bau solar… ya parfum saya sehari-hari.”
Saya tersenyum. “Kenapa berhenti?”
Ia terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Kecelakaan, Pak. Ban truk pecah di tanjakan Cianjur. Alhamdulillah masih hidup. Saya harus bayar mahal agar mobil bisa dikembalikan. Tapi setelah itu saya pikir: cukup. Gunting lebih jinak dari setang stir.”
Saya tertawa kecil, walau dalam hati saya tahu: ada luka yang tak selesai diceritakan.
“Kalau boleh tahu, apa tantangan terbesar jadi supir truk?”
Toto mendesah. “Tiga pak: preman jalanan, Dishub, sama Polisi.”
“Masa sih” Kata saya . Mana yang paling mas takuti?”
“Dishub dan Polisi. Kalau preman, masih bisa saya hadapi. Kadang saya kasih rokok, kadang enggak. Saya enggak takut. Tapi aparat? Kita lawan, kita yang hancur. Kita ikut, rezeki disunat. Serba salah.”
Saya diam. Hati saya mencelos.
“Pernah, dua hari kerja keras. Bawa truk dari Bekasi ke Bandung, balik lagi. Delapan ratus ribu di tangan. Senang banget, Pak. Itu buat bayar uang masuk sekolah anak.”
Ia berhenti sebentar. Suaranya lebih berat.
“Tapi di jalan, dicegat polisi. Dicari-cari kesalahan. Dua ratus ribu melayang. Jalan lagi, Dishub tahan, bilang surat kurang lengkap—padahal lengkap. Kena lagi seratus lima puluh. Tinggal setengah dari yang saya kumpulkan. Sedih, Pak. Kok tega ya. Yang harusnya melindungi, malah menyakiti.”
Saya terdiam. Gunting terus bergerak. Tapi hati saya seperti ikut tergunting.
Toto menyemprotkan parfum kecil ke rambut saya. Ia mengelap leher saya, lalu tersenyum lebar. Saya membayar tiga puluh ribu, plus tips seadanya. Tapi ia tampak bahagia.
“Saya senang bisa ngobrol, Pak. Kadang, bukan uang yang kita cari… tapi rasa didengar.”.
Saya melangkah keluar. Jalanan mulai riuh. Motor dan mobil berseliweran seperti semut mencari arah. Tapi hati saya tertinggal di kios cukur itu—bersama kisah seorang pria bertato yang menyimpan luka dan harapan di balik gunting.
Di rumah, saya membuka portal berita. Judul-judul berkelebat seperti kabar luka yang tak kunjung sembuh: “Sopir truk dipukul karena melawan tilang”, “Petugas pungli diberhentikan sementara”, “Aparat tertangkap kamera palak di jalan tol.”
Tak lama kemudian, di televisi, saya menyaksikan Dedi Mulyadi tengah marah besar. Seorang petugas Dishub didapati memotong THR sopir angkot sebesar dua ratus ribu rupiah. Jika mobil angkot berjumlah 500 maka akan kumpul dana 100 juta. Lumayan buat lebaran. Wajah Dedi merah padam. Ia mengancam membawa kasus ini ke pengadilan. Tak butuh waktu lama, petugas itu ‘berkoordinasi’—dan seperti biasa, dalih klasik dilontarkan: “Ini hanya miskomunikasi.” Uang pun dikembalikan. Seolah luka bisa sembuh hanya dengan kembalinya lembaran rupiah.
Sore harinya, dari radio tua milik tetangga, terdengar lagu lawas: “Sukatani bayar-bayar, apa-apa ke polisi harus bayar…” Lagu yang terasa seperti satir pahit—dan kenyataan yang terus berulang. Lagu yang membuat orang banyak marah.
Masya Allah. Toto benar. Bahkan lebih benar dari yang ia sadari. Banyak orang melawan, tapi malah menderita lebih dalam. Dihajar. Dihakimi. Diremas habis-habisan oleh sistem yang seharusnya menjaganya.
Saya membayangkan suatu hari—entah kapan—kita punya aparat yang benar-benar melayani. Yang turun ke jalan dengan kasih, bukan dengan amarah. Yang melihat rakyat bukan sebagai target tilang, tapi sebagai sesama anak bangsa yang ingin pulang selamat.
Di cermin kios itu tadi, saya tak hanya melihat rambut yang harus dirapikan, tapi juga bangsa yang harus dirapikan agar bisa lebih adil—dan lebih manusiawi pada sessama rakyat kecil. (*)
Pondok Cabe Udik 9 April 2025