Oleh ReO Fiksiwan
“Kemunafikan adalah kesenjangan antara apa yang dikatakan politisi dan apa yang mereka lakukan—namun kemunafikan juga merupakan topeng yang membuat kekuasaan mereka terasa enak didengar.“ —- David Runciman (58), Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond (2010).
HATIPENA.COM – Immanuel Ebenezer Gerungan(50), atau lebih akrab disapa Noel, adalah potret sempurna dari apa yang oleh David Runciman disebut sebagai “hipokrisi politik yang tak terhindarkan.”
Dalam bukunya Political Hypocrisy, Runciman menyatakan bahwa politisi sering kali harus berpura-pura demi menjaga stabilitas dan kepercayaan publik.
Tapi dalam kasus Noel, tampaknya kita sedang menyaksikan bukan sekadar kepura-puraan demi stabilitas, melainkan sebuah pertunjukan teater moral yang gagal total—dengan aktor utama yang lupa bahwa panggung politik bukanlah panggung sandiwara.
Noel, sang mantan aktivis, dulunya dikenal sebagai pengemudi ojek online yang bersuara lantang membela rakyat kecil.
Ia mendirikan Jokowi Mania, lalu beralih ke Ganjar Mania, dan akhirnya mendarat di Prabowo Mania—sebuah perjalanan spiritual yang lebih mirip ziarah politik daripada konsistensi ideologis.
Dari jalanan ke kursi Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Noel tampak seperti bukti hidup bahwa mimpi bisa jadi nyata.
Sayangnya, mimpi itu berakhir dengan rompi oranye dan borgol di tangan, setelah KPK menangkapnya dalam operasi tangkap tangan terkait dugaan pemerasan sertifikasi K3.
Ironisnya, pria yang pernah berkata “Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi”, kini tak bisa kabur dari jerat hukum. Mungkin ia lupa bahwa yang bisa kabur hanyalah idealisme, bukan bukti transfer.
Dalam OTT tersebut, KPK menemukan uang tunai, kendaraan mewah, dan dugaan gratifikasi hingga miliaran rupiah.
Dari aktivis yang katanya anti korupsi, Noel berubah menjadi pejabat yang diduga memeras perusahaan demi sertifikat keselamatan kerja.
Sebuah transformasi yang begitu dramatis, bahkan Kafka pun akan iri.
Runciman menulis bahwa hipokrisi politik bisa menjadi alat untuk menyembunyikan niat baik demi tujuan yang lebih besar.
Tapi dalam kasus Noel, yang tersembunyi tampaknya bukan niat baik, melainkan niat buruk yang dibungkus dengan jargon aktivisme.
Ia bukan hanya gagal menjaga idealisme, tapi juga sukses menjualnya dengan harga yang sangat kompetitif—Rp 6 juta per sertifikat, dari harga asli Rp 275 ribu.
Diskon Moral yang Luar Biasa
Kini, Noel menjadi simbol dari apa yang terjadi ketika aktivisme bertemu oportunisme, dan idealisme dijadikan alat tawar-menawar kekuasaan. Ia bukan satu-satunya, tentu saja.
Tapi ia adalah contoh paling segar bahwa dalam politik Indonesia, jalan dari relawan ke tahanan bisa sangat singkat—dan sangat menguntungkan, setidaknya sampai KPK datang.
Mungkin kita harus berterima kasih kepada Noel. Ia telah membuktikan bahwa hipokrisi bukan hanya teori dalam buku Runciman, tapi juga praktik harian di kementerian.
Ia telah menunjukkan bahwa dalam politik, yang paling berbahaya bukanlah korupsi itu sendiri, melainkan mereka yang mengaku bersih sambil menyembunyikan tangan yang kotor.
Dan kepada para aktivis yang bermimpi jadi pejabat: semoga kisah Noel menjadi pelajaran.
Bahwa idealisme itu bukan untuk dijual, apalagi ditukar dengan motor Ducati dan uang tunai dalam amplop.
Karena ketika idealisme berubah jadi hipokrisi, maka yang tersisa hanyalah satire kehidupan yang terlalu pahit untuk ditertawakan. (*)
Jakarta, Mesjid Istiqlal, 23 Agustus 2025