Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Nyawa di Dalam Tuak

January 14, 2025 07:48
IMG-20250114-WA0025

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

DI TANAH Bali yang kaya budaya, di mana gamelan menggema dan tarian-tarian memikat mata, ada sebuah kisah tentang tuak.

“Tuak adalah nyawa,” begitu kalimat yang dinyanyikan kaula muda Bali. Bukan sekadar minuman, tuak adalah bagian dari denyut kehidupan. Dalam pesta adat, upacara keagamaan, hingga pertemuan sederhana di balai desa, tuak menjadi simbol kebersamaan.

Seperti asap rokok yang menjadikan udara penuh paradoks, tuak pun membawa ironi tersendiri. Minuman yang dianggap “nyawa” ini justru diselimuti peraturan yang membatasi, bahkan dilarang diperjualbelikan. Yang mengedarkannya seringkali diciduk aparat.

Di satu sisi, ia begitu akrab dengan masyarakat desa maupun kota, di sisi lain, ia dibungkus stigma sebagai sesuatu yang berbahaya, memabukkan dan bikin onar.

Tuak, dengan segala tradisi dan manfaatnya, adalah wujud kebijaksanaan lokal. Nira yang ditadah dari pohon enau, lontar atau kelapa, diramu dengan lau khas Bali. Ia lahir sebagai minuman yang menghangatkan, menenangkan pikiran, dan dalam beberapa kasus, dianggap menyembuhkan penyakit.

Ada cerita-cerita tentang seseorang yang kembali bugar setelah meminum segelas tuak. Ada pula kisah pertemanan yang abadi di bawah teduhnya pohon beringin, dengan tuak sebagai saksi.

Tapi hukum modern, dengan ketegasan tanpa kompromi, menilai tuak dari sisi lain. Kandungan alkoholnya, yang bagi masyarakat desa adalah penghangat jiwa, dianggap berbahaya. Penjual tuak bisa dijerat pidana, seperti menjual racun. Sementara minuman impor beralkohol berharga mahal dengan kemasan rapi tetap beredar di pasaran, tanpa ada stigma yang sama. Bir misalnya.

Paradoks ini mencerminkan jurang antara tradisi dan modernitas. Tuak adalah simbol lokalitas yang berakar pada kearifan nenek moyang, tapi banyak yang kerap lupa bahwa nilai-nilai itu tak bisa diukur dengan standar global semata.

Apakah ini masalah moral? Ataukah sekadar persoalan ekonomi?

Tuak, yang dijual dengan harga murah, kalah bersaing dengan minuman “elegan” yang datang dari luar dengan harga yang lebih mahal. Padahal, jika dilihat lebih dekat, tuak menyimpan potensi besar sebagai produk lokal yang bisa diolah lebih higienis dan legal.

Namun, persoalannya bukan hanya soal legalitas atau ekonomi. Ini tentang identitas. Ketika tuak dipandang rendah oleh regulasi, masyarakat yang hidup bersama tuak pun ikut tersudut. Padahal, di balik stigma itu, tuak membawa manfaat: kesehatan, kebersamaan, dan rasa hormat pada tradisi.

Lalu, apa yang sebenarnya harus dilakukan? Apakah tuak akan terus hidup dalam paradoks? Ataukah suatu hari, kita bisa melihat tuak sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini, tanpa harus kehilangan esensinya?

Di dunia yang serba paradoks ini, mungkin yang perlu kita lakukan adalah berhenti memandang hitam dan putih semata. Sebab, di antara larangan dan kebutuhan, ada cerita yang lebih besar: tentang budaya, manusia, dan bagaimana kita memahami dunia.

Tuak, seperti nyawa, tidak bisa ditiadakan. Sebab di dalamnya, mengalir roh kehidupan masyarakat yang kita sebut “Bali”.

Denpasar, 14 Januari 2025

Berita Terkait