Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Nyepi (bukan) Hari Raya

March 11, 2025 12:54
IMG-20250311-WA0099

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Di dunia paradoks, di mana terang dan gelap bisa saling bertukar makna, kita masih sering mendengar Nyepi disebut sebagai “Hari Raya.”

Ini sebuah kontradiksi yang menggelitik logika: bagaimana mungkin hari yang sunyi, sepi, gelap, dan penuh pengendalian diri disebut sebagai “hari raya?” atau hari yang berarti besar, megah, penuh perayaan?

Jika Nyepi adalah analog dengan puasa Ramadhan, mengapa tidak ada yang menyebut Ramadhan sebagai hari raya? Cobalah dicermati tidak ada yang mengucapkan “Selamat Hari Raya Ramadhan,” tetapi mereka bilang “Selamat menunaikan ibadah puasa.”

Mestinya yang lebih sesuai untuk Nyepi adalah “Selamat melaksanakan upawasa.” atau “Selamat melaksanakan Catur Brata Nyepi”. Sebab, dalam Nyepi terdapat empat puasa utama—amati geni (tidak menyalakan api), amati lelangun (tidak bersenang-senang), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati karya (tidak bekerja).

Nyepi bukanlah hari yang dibesarkan dengan pesta atau perjamuan, melainkan hari yang disucikan.

Maka penyebutan “Hari Raya Nyepi” menjadi paradoks: bagaimana mungkin sesuatu yang mengharuskan kita untuk meniadakan keramaian dan hingar bingar disebut sebagai “raya”?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “raya” berarti besar. Kita mengenal istilah “Indonesia Raya” yang bermakna Indonesia yang besar, “jagat raya” yang berarti semesta yang luas. Tapi Nyepi justru tentang meniadakan kebesaran, menuju keheningan, sunyi, sepi, kembali ke titik nol.

Umat Hindu memahami konsep Bhuana Agung (makrokosmos, alam semesta) dan Bhuana Alit (mikrokosmos, diri manusia).

Keduanya menyatu terhubung oleh nafas, kesadaran akan keberadaannya.

Pada saat Nyepi, bukan hanya manusia yang hening, tetapi semesta pun nyepi. Ia diajak untuk turut sunyi.

Maka, pecalang berjaga, memastikan tidak ada yang melanggar hening suci ini. Tak ada listrik, tak ada kendaraan berlalu-lalang, tak ada pesawat yang meraung di angkasa.

Nyepi bukan hanya tentang manusia yang menyepi, tapi juga tentang alam yang diajak untuk ikut berhenti, menyelaraskan ritme dengan keheningan semesta.

Seberapa total manusia bisa melaksanakan Nyepi? Dari empat pantangan utama, beberapa masih bisa diterapkan sepenuhnya—tidak bepergian, tidak bersenang-senang, dan tidak bekerja.

Namun amati geni, tidak menyalakan api, menjadi tantangan bagi mereka yang memiliki bayi atau kondisi khusus. Itu fisiknya, tapi “mematikan” geni dalam tubuh juga menjadi pantangan. Tidak marah, sabar, tetap damai juga harapan.

Meski demikian, walau hanya melaksanakan tiga dari empat pantangan dijalankan, atau hanya tidak bepergian saja, seseorang tetap dianggap telah melaksanakan Nyepi.

Maka, jika kita kembali ke pertanyaan awal: pantaskah Nyepi disebut sebagai “Hari Raya”?

Saya kira lebih pas kita menyebutnya sebagai “Hari Suci,” karena hari itu, hari penuh kesucian. Dan, karena hari itu pula pencatatan awal tahun saka, maka bagus juga pada saat itu menyatakan, “Selamat Tahun Baru Saka”,

Di dunia paradoks ini, jika penyebutannya tetap bertahan sebagaimana adanya. Namun esensinya tidak akan berubah—Nyepi adalah kesadaran akan nafas yang mentaut Bhuana Alit dengan Bhuana agung.

Mari kita rasakan bagaimana kita mendengar dalam diam. Itulah nyepi; hari yang penuh suci.

Selamat menunaikannya pada 29 Maret nanti.(*)

Denpasar, 11 Maret 2025