Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Masih saja ada yang belum memahami untuk siapa sebenarnya Nyepi di Bali. Karena beda agama, karena tak yakin, ada saja yang tak mengindahkan keheningan itu.
Secara agama, Nyepi memang milik agama Hindu, milik tradisi agama Hindu di Bali. Namun, lebih dari itu, Nyepi sejatinya memberikan faedah dan manfaat langsung serta tidak langsung bagi Bali, bagi negeri, bahkan bagi umat manusia secara luas.
Inilah yang menjadikan Nyepi, walau begitu mahal, tetap dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Bali.
Coba kita seksamai begitu mahalnya nyepi. Sebelum tiba di puncaknya, ada serangkaian upacara yang dilakukan.
Melasti, misalnya, sebuah prosesi di mana umat Hindu secara individu maupun kelompok melaksanakan penyucian pratima dan benda-benda suci lainnya di pantai.
Lalu, pada puncaknya, Tilem Kesanga, umat Hindu menggelar Tawur Agung dalam berbagai tingkatannya.
Pada saat itu, anak-anak muda Bali turut berpartisipasi dengan membuat ogoh-ogoh yang kemudian diarak keliling desa.
Di Bali, terdapat 1.500 desa adat, jika masing-masing desa adat memiliki sekitar tiga banjar, dan setiap banjar membuat setidaknya satu ogoh-ogoh dengan biaya sekitar Rp10 juta. Coba dihitung, betapa besar total dana yang berputar hanya untuk ogoh-ogoh, yang pada akhirnya dipralina—dilebur dan dibakar seolah tak pernah ada.
Saat Sipeng tiba, pelabuhan ditutup, bandara tidak boleh mendaratkan pesawat, kendaraan dilarang berlalu-lalang. Berapa banyak pendapatan yang menguap dalam sehari itu? Berapa kerugian yang ditanggung mal-mal yang harus tutup, para tukang parkir yang kehilangan penghasilan, dan berbagai sektor lain yang sementara berhenti beroperasi?
Betapa banyak peredaran uang yang terhenti saat Nyepi berlangsung. Namun, nyadarkah, justru di sinilah letak manfaat Nyepi bisa dirunut?
Nyepi membuat Bali menjadi unik, dengan keunikan itu menjadikannya berharga, dan makin menarik di mata dunia.
Dengan tetap mempertahankan tradisinya, Bali meneguhkan kembali identitasnya sebagai Pulau Dewata, pulau yang penuh budaya dan spiritualitas.
Daya tarik inilah yang membuat wisatawan datang dan datang lagi ke Bali.
Maka dari Nyepi, bisnis pariwisata hidup. Hotel menerima tamu, agen perjalanan bisa menjalankan tur, restoran dipenuhi pelanggan, pedagang sayur dan buah meraup untung, tukang laundry kebanjiran pesanan, tukang bangunan mendapat pekerjaan, hingga industri pasir dan galian di Gunung Agung ikut merasakan manfaatnya.
Apakah semua itu hanya beragama Hindu? Manfaat nyepi untuk semua, tak memandang agama, tak memandang asal usul, apakah tukang-tukang bangunan itu semua orang Hindu? Apakah semua dari Bali? Bisa jadi mereka dari Jawa, dari Lombok dari NTT. Mereka semua menikmati limpahan duit dari nyepi.
Tidak hanya itu, pemerintah daerah mendapatkan pemasukan dari pajak hotel dan restoran (PHR), berbagai dokumen administratif diproses, dan pajak kendaraan yang menumpuk menjadi sumber pendapatan daerah.
Dana inilah yang kemudian digunakan untuk pembangunan Bali. Ada pembangunan jembatan, ada pemeliharaan irigasi, membersihkan got, apakah sekua itu dikerjakan oleh pekerja-pekerja dari Bali? Bisa jadi warga Jembrana yang ke Denpasar mengerjakan proyek-proyek itu, bisa juga warga Banyuwangi, atau dari Mataram, Lombok.
Bahkan, secara nasional, Bali memberikan kontribusi devisa yang luar biasa besar, hampir 46 persen dari total devisa pariwisata nasional berasal dari Bali.
Nyepi bukan hanya menghidupkan perekonomian Bali.
Dari kesunyian, dari sepi, dari Sipeng, kita melihat manfaat lain yang luar biasa. Polusi berkurang, kualitas oksigen meningkat, dan lingkungan lebih terjaga. Bahkan, organisasi lingkungan seperti WWF pun meniru konsep Nyepi dengan mengajak dunia untuk mematikan listrik selama beberapa jam.
Menjadi paradoks jika Bali dan masyarakatnya tidak memahami makna Nyepi sebagai pemantik jitu bagi perekonomian Bali.
Oleh karena itu, sudah saatnya para pemangku kebijakan di Bali tidak membiarkan Nyepi yang begitu mahal ini hanya ditanggung oleh masyarakat Bali secara parsial.
Sudah saatnya Nyepi tak hanya dipahami oleh warga Bali yang beragama Hindu semata, harus ada kesadaran kolektif bahwa Nyepi adalah kebutuhan bersama warga Bali dan juga umat manusia.
Khusus pada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan langsung dari pariwisata, seperti hotel, restoran, agen perjalanan, serta pemerintah yang mengandalkan pajak dari industri ini, harus turut menanggung beban finansial dan sosial masyarakatnya. Jika ada yang merongrong Nyepi pemerintah harus menindaknya dengan tegas.
Di sisi lain, masyarakat pun harus bijak. Jangan mudah mengeluh karena kemacetan akibat festival ogoh-ogoh, tanpa melihat bahwa “kemacetan” itu justru menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Juga, jangan ada pihak-pihak yang mengklaim bahwa ada upaya untuk mengikis kesakralan ogoh-ogoh hanya karena penggunaan sound system dalam perayaan. Tradisi berkembang, namun esensinya harus tetap terjaga.
Nyepi bukan sekadar ritual, tetapi fondasi utama yang membuat Bali tetap istimewa, tetap menjadi daerah pendulang devisa untuk negeri.
Nyepi menerangi dunia melalui gelap, meramaikan lewat sunyi dan membangunkan semua lewat diam.(*)
Selamat Idul Fitri 1446 Hijriah
Selamat Tahun Baru Saka 1947
Denpasar, 31 Maret 2025