Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Ogoh-Ogoh dan Rekomendasi

February 8, 2025 06:48
IMG-20250208-WA0001

Ilustrasi : AI/ Hatipena
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Nyepi Saka 1947 sudah menjelang. Seperti roda tradisi yang terus berputar, Bali bersiap dengan ritual pengerupukan. Pada saat sehari sebelum sipeng, ogoh-ogoh diarak, dipawaikan, jalanan pun menjadi ramai.

Pada malam itu, pengarakan ogoh-ogoh bukan sekadar tontonan. Ia simbol bhutakala, nyawa dari tradisi pangerupukan.

Ogoh-ogoh yang diarak di luar Pengerupukan ibarat tubuh tanpa ruh. Demikian juga Ogoh-ogoh tanpa diiringi gamelan adalah tubuh tanpa darah.

Maka, tepatlah kebijakan Pemkot Denpasar melarang penggunaan sound system dalam pengarakan ogoh-ogoh. Sebab, tanpa gamelan, tanpa irama khas Bali yang menyatu dengan hentakan kaki para pengarak, ogoh-ogoh akan tercerabut dari akarnya.

Cobalah kita cermati, sore menjelang malam saat pengerupukan tiba, seluruh pekarangan rumah di Bali berubah menjadi panggung spiritual.

Suara kentongan dari ember, panci, atau bambu tak sekadar kebisingan, tetapi mantra yang mengusir Bhutakala. Api yang dijunjung dari bobok (daun kelapa kering) bukan sekadar nyala, tetapi lambang pembakaran segala kekuatan jahat.

Tak pernah ada dalam tradisi bahwa Bhutakala diusir dengan dentuman bass sound system.

Di tengah kesungguhan pemerintah menjaga warisan ini, muncul ironi: seorang anggota DPD RI dikabarkan menerima sejumlah pemuda yang meminta rekomendasi agar ogoh-ogoh diperbolehkan diiringi sound system. Ini apa-apaan? Makin geli melihat ulah peiabat model gini. Inilah paradoks nyata di depan mata kita.

Bayangkan rekomendasi? Untuk apa? Sejak kapan rekomendasi dari seorang anggota DPD RI menjadi hukum yang wajib diikuti? Rekomendasi dari seorang, sekali lagi dari seorang, bukan lembaga. Sejak kapan rekomendasi dari seorang anggota DPD bisa menjadi sumber hukum?

Pemkot Denpasar punya otoritas, panitia festival ogoh-ogoh punya keputusan sendiri. Selembar kertas bernama rekomendasi tak lebih dari formalitas tanpa makna. Jangan biarkan masyarakat dibodohi oleh ilusi birokrasi model begini.

Kita pun akhirnya diajak mencermati, siapa anggota DPD RI? Ia bukan eksekutif, bukan pembuat kebijakan di daerah. Ia seharusnya memperjuangkan kepentingan daerah di pusat, bukan mencampuri urusan ogoh-ogoh yang bukan wilayah kerjanya.

Jika ia benar-benar bekerja, ia harusnya fokus memperjuangkan regulasi yang mendukung kelestarian budaya Bali di tingkat nasional, bukan sibuk mengurus hal yang bukan ranahnya di daerah.

Paradoks semakin tajam ketika melihat rekam jejaknya: membela masyarakat yang dijadikan tersangka oleh polisi karena diduga melakukan perusakan di Desa Adat Bugbug, lalu mengkampanyekan sesuatu yang bertentangan dengan nilai moral seperti seks bebas, bahkan marah-marah di sekolah-sekolah hanya demi pencitraan.

Semua kemudian diunggah di media sosial, seolah menjadi bukti bahwa ia “bekerja.” Padahal, itu bukan tugasnya, itu bukan pekerjaannya.

Masyarakat Bali harus melek. Tradisi harus dijaga oleh mereka yang benar-benar memahami dan mencintainya.

Jangan sampai warisan leluhur terkikis oleh kepentingan pencitraan. Jangan biarkan ogoh-ogoh kehilangan darahnya, jangan biarkan Pengerupukan kehilangan nyawanya.

Karena jika itu terjadi, Bali hanya akan menjadi panggung bagi mereka yang bermain peran, bukan bagi mereka yang sungguh menjaga budaya. (*)

Denpasar, 8 Februari 2025