Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Diakui atau tidak, ogoh-ogoh bertalian erat dengan Nyepi.
Pada saat Pangerupukan, sehari sebelum Nyepi, ogoh-ogoh “lahir,” diarak keliling desa sebagai lambang Bhuta Kala, lalu disomya—dibakar dalam prosesi sakral.
Semua ini bertujuan agar Nyepi berlangsung hening, khidmat, suci, dan penuh makna.
Namun, kini ogoh-ogoh di banyak daerah tak lagi sekadar bagian dari ritual keagamaan. Ia dilombakan, bahkan diarak di luar Pangerupukan.
Di sinilah paradoks terjadi: sesuatu yang awalnya dipersembahkan sebagai yadnya, kini menjadi ajang kompetisi.
Yang paling baik dinobatkan sebagai pemenang, sementara yang lain berada di bawahnya.
Jika yadnya adalah wujud ketulusan, dapatkah ia dinilai? Dapatkah manusia mengukur niat suci yang tersembunyi dalam lubuk hati terdalam?
Bayangkan sebuah pajegan saat piodalan. Warga dengan tulus menghaturkan pajegan sebagai bentuk yadnya kepada Ida Bhatara. Mereka berusaha membuatnya seindah dan serapi mungkin. Namun, jika pajegan ini dilombakan, apakah masih murni sebagai persembahan? Jika manusia yang menilai, bukan Ida Bhatara, masihkah ketulusan itu terjaga?
Begitu pula dengan ogoh-ogoh. Para teruna-teruni begadang, bekerja keras dengan semangat ngayah, bukan untuk panitia lomba, melainkan untuk Ida Sang Hyang Widhi.
Tapi ketika ogoh-ogoh diperlombakan, siapa yang sebenarnya mereka puaskan? Keinginan panitia? Ataukah semangat ritual yang seharusnya tetap berada dalam pakemnya—utpeti, stiti, dan pralina?
Memang, kualitas ogoh-ogoh perlu terus ditingkatkan. Kreativitas adalah bentuk kemajuan. Tetapi jika penilaian terhadap ogoh-ogoh menggesernya dari nilai budaya agama, maka esensinya akan luntur. Pengarakan ogoh-ogoh di luar Pangerupukan membuatnya kehilangan kaitan dengan rangkaian Nyepi.
Coba bayangkan, di Bali ada 1.500 Desa Adat. Satu Desa Adat katakanlah memiliki 3 – 4 banjar. Akan ada sekitar 4.000 banjar di Bali. Jika masing-masing banjar membuat satu ogoh-ogoh setiap tahun dan satu ogoh-ogoh menelan biaya Rp10 juta, maka total dana yang dikeluarkan mencapai Rp40 miliar.
Duit yang tidak sedikit. Belum lagi biaya konsumsi, air minum, dan gotong royong lainnya. Semua ini hanya akan menjadi angka jika tidak disertai ketulusan dalam yadnya.
Jika ada ogoh-ogoh yang tak lagi menjadi bagian dari ritual agama, ogoh-ogoh yang hanya sekadar budaya atau ajang seni, maka perlu kajian lebih dalam. Masihkah disebut ogoh-ogoh jika ia “dilahirkan” di luar untuk tujuan pangerupukan? Apakah dapat dibedakan ogoh-ogoh untuk lomba atau yang benar-benar menjadi bagian dari Nyepi?
Jangan biarkan ogoh-ogoh terjebak dalam paradoks yang kita ciptakan sendiri. (*)
Denpasar, 17 Maret 2025