HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Palsu, Asli dan Pengakuan

April 26, 2025 10:10
IMG_20250426_100911

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Di Renon, di rerumputan indah Bajra Sandi, Bli Ketut Mahardika memandangi selembar uang kertas yang sudah kusut.

Ia menggenggamnya seperti menggenggam rahasia. Ingin ia belanjakan membeli minuman karena haus habis berolah raga namun ia urungkan. Ia bingung asli atau palsu. Ia tak ingin minuman yang diteguknya berasal dari penipuan.

Di depannya, Made Yogi, sebut saja begitu, seorang anak muda yang masih tetangganya memperhatikan Bli Ketut Mahardika dengan bingung.

“Itu uang palsu, Pak,” kata Made Yogi, si anak muda tetangganya di Renon itu menegurnya dari belakang.

Bli Ketut Mahardika tersenyum, lembut. “Bli tahu gus, kayaknya ini palsu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja bli akan menyimpannya. Bukan karena nilainya, tapi karena kisah di balik uang palsu ini.”

“Kenapa tidak dibuang saja?” kata Made Yogi.

“Karena uang ini mengingatkan bli bahwa sesuatu hanya menjadi masalah saat kita memaksanya berlaku sebagai kebenaran. Kalau bli belanjakan, pasti ada masalah,” kata Bli Ketut.

Made Yogi mengernyit, belum paham dengan apa yang disampaikan tetangganya itu.

“Begini Yogi” kata Bli Ketut Mahardika sambil mengangkat uang itu. “Selama bli hanya menyimpan di dompet, tidak ada yang tertipu. Tidak ada warung yang merugi. Tidak ada sistem ekonomi yang terganggu. Tapi begitu bli gunakan untuk membeli minuman, bli menipu dunia. Padahal dari awal, uang ini tak pernah punya nilai. Ini kayaknya palsu”.

Made Yogi mulai paham arah cerita. Tapi lelaki tua belum selesai.

“Begitu pula ijazah. Bayangkan selembar kertas dengan cap dan tanda tangan. Kalau disimpan di lemari, ia hanya cerita kosong. Palsu asli sama. Itu kalau disimpan di lemari. Tapi saat kertas itu diangkat tinggi-tinggi sebagai bukti kelulusan, saat seseorang menuliskan gelar akademik di baliho, tercantum SE, ME pada namanya saat pencalonan, ketika menggunakan untuk mendaftar di KPU, begitu juga ketika menang, menjadi walikota, gubernur apalagi presiden menggunakan gelar atas ijazah itu, maka seluruh kota, seluruh negeri bahkan dunia pun berhak bertanya: Benarkah engkau pernah belajar? Benarkah engkau seorang dokterandus, SE, ME, benarkah engkau insinyur?”

Made Yogi bertanya, “Tapi siapa yang bisa memastikan itu asli atau palsu?”

“Hehehehe, untuk uang ada undang-undangnya, tapi bli pakai cara berpikir bli aja” seru Bli Ketut Mahardika, sambil berguman, “Itu pertanyaan yang indah! Tumben Yogi cerdas.”

Bli Ketut Mahardika lalu melipat uang palsu itu dan menyelipkannya di balik dompet yang kumal. “Untuk uang, kita punya Bank Indonesia. Mereka yang mencetak, mereka yang tahu seri dan sandinya. Mereka tahu bagaimana benang pengaman dijahit ke dalam kepercayaan kita.”

“Dan ijazah?” tanya Made Yogi.

“Ijazah pun begitu. Yang paling tahu adalah kampus yang menerbitkannya. Di sana ada catatan nilai, nomor induk mahasiswa, transkrip, bahkan jejak tapak kaki mahasiswa itu di perpustakaan, di ruang kelas, di meja dosen penguji. Sebab ijazah bukan sekadar kertas—ia adalah kisah panjang tentang waktu, kerja keras, dan pertumbuhan.”

“Kalau begitu… bila seseorang membawa ijazah palsu untuk mendaftar dan percaya begitu saja dengan stempel pengesahan yang tidah sah, tak pernah melakukan verfikasi dengan baik, tidak diperiksa keasliannya. Berarti mereka membiarkan kebohongan duduk di kursi kepercayaan. Ini fatal. Ini sejarah yang memalukan, tercetak pada memori bangsa. Memalukan,” kata Bli Ketut Mahardika sambil berteriak.

Hening sejenak. Desiran angin lembut Bajra Sandi makin terasa.

Made Yogi makin merapat di kursi beton di sebelah Bli Ketut Mahardika memikirkan banyak hal. Lalu ia berkata lirih, “Berarti yang harus digugat bukan hanya yang memalsukan, tapi juga yang membiarkan?” tandas Made Yogi yang tampak mulai pintar itu.

Bli Made Mahardika, lelaki tua yang baru saja pensiun itu mengangguk. “Karena dalam dunia di mana kebenaran bisa dicetak, yang berhak menyebutnya palsu adalah mereka yang mencetaknya. Dan yang berdosa bukan hanya pemalsu, tapi juga penjaga gerbang yang tidur saat kebohongan masuk.” (*)

Denpasar, 26 April 2025