Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pariwisata Bali untuk Siapa?

March 13, 2025 05:21
IMG-20250313-WA0026

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Di Jepang, kedatangan wisatawan mulai dianggap mengganggu.

Warga lokal merasa ruang hidupnya direbut, ketenangan terganggu, harga kebutuhan melonjak, dan kota-kota warisan budaya mereka menjadi sekadar latar belakang swafoto.

Apakah kita di Bali telah merasakan hal yang sama? Apakah pariwisata yang sejak lama kita banggakan justru kini telah menjadi beban?

Jika kita mulai merasa terganggu, itu berarti pariwisata yang dikembangkan selama ini bukan untuk Bali, tetapi Bali yang justru dieksploitasi demi pariwisata.

Bagaimana mengukurnya?

Tidak perlu rumus yang rumit—lihatlah jalanan yang macet di Pecatu, Kuta, Nusa Dua, Sanur, bahkan nun jauh di Ubud. Kemacetan itu bukan hanya karena wisatawan, tetapi juga oleh mereka yang mencari nafkah dari wisatawan.

Kawasan yang dulu tenang kini bising, dipadati kendaraan yang merayap, warung-warung kecil tersingkir oleh restoran mewah, dan tanah-tanah leluhur berpindah tangan demi vila dan resort.

Lebih jauh lagi, dampak pariwisata bukan hanya kemacetan. Harga kebutuhan pokok turut serta meninggi memukul warga yang tinggal jauh di pelosok desa nun jauh dari kawasan turis.

Mereka yang tidak bersentuhan langsung dengan industri pariwisata, namun karena Bali mendunia, harga-harga meninggi, mereka pun ikut merasakan harga-harga itu padahal mereka tak mengkait dengan dunia turis tapi turut menanggung bebannya.

Inikah yang diinginkan? Apakah ini yang dulu dicita-citakan oleh para tetua yang mengusung slogan “Pariwisata untuk Bali”—bukan “Bali untuk Pariwisata”?

Ingatlah, Bali tidak pernah diciptakan untuk pariwisata. Bali ada karena kekuatan spiritual dan budaya yang mengakar ditambahkan keindahan alam yang begitu menawan dari nyiur yang melambai, dari aroma dupa yang mengharum.

Jika ada yang datang untuk melihat, menikmati, mencari ketenangan, silakan. Namun, ketika Bali mulai diperjualbelikan, ketika tanahnya, budayanya, bahkan manusianya dieksploitasi, di sinilah paradoks itu muncul.

Lihatlah bagaimana pura yang suci menjadi objek wisata, banyak yang tanpa sungkan, tak merasa bersalah mencantumkan pura dalam brosur-brosurnya dan mengajak mereka melancong ke tempat suci itu. Akibatnya, wisatawan keluar-masuk pura tanpa kesadaran akan sakralitas tempat itu.

Banyak yang tak beradab, menganggap pura sebagai tempat berfoto, melupakan itu tempat sembahyang.

Belum lagi dampak sosial lainnya—narkoba, kriminalitas, pekerja asing yang mengambil lapangan kerja masyarakat lokal, hingga turis yang bukan sekadar berlibur, tetapi berbisnis, menyewakan vila, bahkan menjadi pemandu wisata ilegal.

Lalu, apa solusinya? Tak ada pilihan lain, Bali harus tegas. Bali bukan untuk dijual demi pariwisata. Kita harus berani berkata stop! Wisatawan tidak boleh ke Pura Besakih kecuali untuk sembahyang. Harus tegas, pura bukan tempat wisata, pura tempat suci.

Regulasi harus diperketat—tidak ada pembangunan yang melanggar ruang-ruang sakral dan lingkungan yang telah ditetapkan. Kita harus berani menjaga Bali, bukan justru ikut menjualnya.

Jika tidak, Bali akan kehilangan lebih dari sekadar tanah dan budaya—kita akan kehilangan jati diri. Ajeg Bali bukan sekadar slogan, melainkan tanggung jawab bersama.

Jika pariwisata memang untuk Bali, maka Bali harus tetap menjadi Bali, bukan sekadar panggung untuk dunia luar. (*)

Denpasar, 13 Maret 2025