Dr. Wendy Melfa
Akademisi UBL, Penggiat Ruang Demokrasi ( RuDem )
HATIPENA.COM
Dari Pati untuk Nusantara
Kebijakan Bupati Kabupaten Pati Jawa Tengah menaikkan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebesar 250 persen sebagai langkah dan upaya menyeimbangkan fiskal (balanced fiscal) daerah dengan cara (mudah) menaikkan pendapat daerah guna membiayai kebutuhan pembangunan infrastruktur dan pemenuhan pelayanan publik daerah harus ditebus dengan ‘mahal’ yang menyebabkan gelombang besar unjuk rasa masyarakat Kabupaten Pati (13/8/25) memprotes kebijakan tersebut dan menuntut diturunkannya Bupati dari jabatannya.
Setali tiga uang, DPRD Pati juga melalui rapat Pansus hak angket mempertimbangkan untuk memakzulkan Bupati Sadewo yang pada paripurna yang akan digelar tanggal 21 Agustus ini.
Langkah mencari sumber penerimaan baru dengan cara cepat dan mudah dari Bupati Pati dalam bentuk menaikkan PBB P2 disebabkan karena pendapatan daerah tidak (akan) mampu menutupi belanja sehingga Kepala Daerah berusaha mencari sumber penerimaan baru, sama langkahnya dengan beberapa kepala daerah yang mengambil kebijakan serupa seperti Kota Cirebon dan Kabupaten Semarang Jawa Tengah di antaranya, namun kebijakan tersebut dibatalkan menyusul peristiwa Pati dan protes warganya.
Hal menarik dari peristiwa ini bahwa upaya-upaya Kepala Daerah mencari sumber-sumber penerimaan baru dengan cara menambah beban keuangan rakyat untuk mengatasi beban belanja, mengindikasikan melemahnya kemampuan keuangan daerah yang mengarah pada ketidak seimbangan fiskal (unbalanced fiscal) daerah untuk membiayai program pembangunan dan pelayanan publik, dan ini menjadi indikator kurang baik terjadinya persoalan melemahnya penyelenggaraan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal kepada daerah otonom.
Efisiensi dan Pemangkasan Dana Daerah
Kebijakan sektor moneter tentu sangat dipangaruhi oleh situasi geopolitik dunia, konflik beberapa Negara, perang tarif dan lainnya yang menyebabkan kontraksi ekonomi global, nasional, dan tentu juga daerah sebagai konsekuensi globalisasi ekonomi yang menegaskan interdependensi satu dengan lainnya, tentu hal ini berdampak pada makro dan mikro ekonomi dalam negeri.
Secara kasat mata pemberlakuan kebijakan efisiensi melalui Inpres 1/2025, pemangkasan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik, dan yang terbaru melalui PMK 56/2025 yang mengatur efisiensi belanja negara untuk APBN 2026 yang didalamnya terdapat ketentuan pemangkasan anggaran Kementerian/ Lembaga serta dana transfer ke daerah demi menjaga keberlanjutan fiskal.
Pemerintah menetapkan alokasi transfer keuangan daerah dalam RAPBN 2026 sebesar 650 triliun Rupiah, turun sebanyak 269 triliun Rupiah bila dibandingkan dengan APBN 2025 yang mencapai 919 triliun Rupiah. Dengan tanpa pengurangan alokasi transfer keuangan daerah saja sebagaimana tahun 2025 ini kondisi keuangan daerah sudah harus mencari sumber-sumber penerimaan baru untuk mengatasi belanja APBD-nya, tentu dapat kita bayangkan bagaimana kondisi keuangan daerah tahun anggaran 2026 yang akan datang dengan keberlanjutan kebijakan efisiensi dan adanya pengurangan transfer alokasi keuangan daerah.
Kondisi unbalanced fiscal daerah seperti ini ‘memaksa’ pembuat kebijakan daerah harus hati-hati dalam mengelola dan menggunakan sumber fiskal daerah sekaligus pada saat yang sama ‘berkreativitas’ mencari sumber-sumber penerimaan baru untuk membiayai pos belanja dalam membangun dan memenuhi pelayanan publik di daerah tanpa harus membebani masyarakat dengan menaikkan pajak misalnya, apa yang terjadi dengan peristiwa Pati cukup memberi pelajaran kepada para Kepala Daerah akan kebijakan ‘gegabah’ dan cara ‘mudah’ untuk menaikkan sumber pendapatan meski untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik sekalipun.
Melemahnya Otonomi Daerah
Kondisi fiskal daerah sebagaimana terjadi pada tahun anggaran 2025 dan akan berlanjut tahun anggaran 2026 bukan saja dapat menjadi persoalan desentralisasi fiskal kepada daerah otonom, tetapi juga dapat menyebabkan melemahnya otonomi daerah itu sendiri, hal mana merupakan kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri, yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan demokrasi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keterbatasan fiskal daerah dapat menurunkan belanja modal pada APBD yang berimplikasi pada pembangunan infrastruktur dasar, juga termasuk pelayanan publik didalamnya. Dalam upaya mencari sumber-sumber penerimaan baru yang tidak membebani masyarakat seperti PBB P2 misalnya, daerah-daerah yang memiliki potensi ekonomi dari sektor pertambangan harus rela ‘menahan’ diri karena kewenangan pengelolaan pertambangan di Indonesia berada pada pemerintah pusat dengan kemungkinan adanya pendelegasian sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah (vide UU 3/2020 Tentang Minerba), hal mana menarik sebagian besar kewenangan pengelolaan pertambangan, termasuk perizinan menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Demikian juga halnya dengan potensi ekonomi biru (blue economy), daerah juga harus ‘menahan’ diri karena kewenangan pengelolaannya ada pada pemerintah pusat, termasuk menetapkan regulasi terkait pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, termasuk kebijakan penangkapan ikan terukur dan konservasi, sementara daerah hanya melaksanakan kebijakan ekonomi biru yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat di wilayahnya.
Adanya pembatasan kewenangan daerah atau adanya pengelolaan kewenangan pemerintah pusat terhadap potensi sumber penerimaan daerah tersebut juga dapat berpotensi terbangunnya ‘konflik’ atau pertentangan kepentingan antara pusat dan daerah disebabkan dominasi kewenangan oleh pemerintah pusat.
Menyadari kondisi fiskal daerah kontemporer, saatnya momentum situasi ekonomi global, nasional, maupun regional yang berdampak pada kebijakan efisiensi dan pengurangan transfer dana ke daerah ini, sekiranya kita dapat menemukan cara untuk keluar dari problem fiskal daerah ini dengan pendekatan sistem building dengan ‘merumuskan’ kembali kewenangan yang dapat dilakukan daerah-daerah potensial untuk mendapatkan sumber-sumber penerimaan dari potensi alam yang dimiliki daerah seperti pertambangan dan potensi ekonomi biru atau lainnya, meskipun pengelolaan kewenangan tersebut tetap dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI, dengan tanpa mengabaikan kreativitas pemerintahan daerah untuk mendapatkan sumber-sumber penerimaan yang tidak membebani masyarakat.
Politik kebijakan keberlangsungan fiskal sebagaimana tertuang pada PMK 56/2025 yang mengatur efisiensi belanja negara untuk APBN 2026 sepatutnya juga tidak berdampak pada melemahnya pelayanan publik didaerah, menjauhkan kesejahteraan rakyat dari rasa dan pencapaiannya yang pada gilirannya dapat melemahkan penyelenggaran otonomi daerah sebagai cara kita menjaga keutuhan NKRI. (*)