Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pendidikan, Kejujuran, dan Realitas

January 7, 2025 12:10
IMG_20250107_120953

Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya

PENDIDIKAN, dalam gagasan ideal, adalah ruang untuk menanamkan nilai-nilai luhur seperti etika, moral, dan kejujuran.

Anak-anak dididik untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab, kritis, dan memegang teguh integritas. Namun, realitas di lapangan kerap kali melahirkan ironi yang membingungkan: dunia paradoks, di mana nilai-nilai yang diajarkan bertentangan dengan praktik sehari-hari.

Di Bali, Pergub yang mewajibkan penggunaan kain tenun ikat endek adalah langkah bijak untuk melestarikan budaya lokal. Anak-anak dari TK hingga SMA, ASN, hingga pegawai swasta diimbau mengenakan kain endek sebagai bagian dari identitas Bali.

Namun, paradoks muncul ketika yang digunakan bukanlah endek asli, melainkan kain cetakan yang menyerupai endek.

Endek asli, hasil kerajinan tangan yang dibuat dengan penuh ketelatenan, memang tidak bisa diproduksi massal. Harganya mahal, tetapi nilai kejujurannya tak ternilai.

Jika anak-anak diajarkan untuk menghargai keaslian sejak dini, bukankah itu akan menumbuhkan rasa bangga sekaligus integritas? Keindahan sejati bukan hanya pada seragam berwarna-warni, tetapi pada kejujuran yang menyertainya.

Paradoks lainnya terlihat pada isu uang komite. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menanamkan kesadaran kritis justru menanamkan kebingungan.

Uang komite, yang oleh aturan tidak boleh diwajibkan, tetap saja dipungut melalui mekanisme yang “dilegalkan” oleh komite sekolah.

Guru-guru sering keceplosan mengingatkan siswa yang belum membayar, memaksa anak-anak meminta kepada orangtua dengan tidak ada rasa malu. Dalam situasi ini, anak-anak tidak belajar tentang apa itu pungutan, sumbangan dan iuran serta hal-hal yang boleh dan tidak boleh, melainkan dipaksa menerima ketidaksesuaian antara teori dan praktik.

Kemudian, ada masalah penerimaan siswa baru. Sistem zonasi yang dirancang untuk pemerataan akses pendidikan justru menjadi ladang penyimpangan.

Siswa yang tidak memenuhi zonasi bisa masuk dengan “prestasi” yang diragukan atau rekomendasi dari pejabat. Kejujuran dan meritokrasi terpinggirkan, tergantikan oleh privilese dan manipulasi. Apa yang anak-anak pelajari dari semua ini? Bahwa aturan bisa dilanggar asalkan ada jalan pintas.

Dunia paradoks semakin jelas dalam fenomena penggunaan sepeda motor oleh siswa.

Anak SMP yang belum cukup umur bebas melaju di jalan raya yang dipastikan tanpa SIM. Maklumlah mereka pasti belum 17 tahun, umur minimal yang dipersyaratkan mendapatkan SIM. Bahkan anak SMA kelas 1 dan 2, juga seharusnya belum memenuhi syarat berkendara karena belum cukup umur dibiarkan melanggar aturan dengan restu orang tua, guru, dan bahkan aparat.

Polisi yang melihat diam saja, guru tidak berdaya, dan orang tua justru memfasilitasi dengan alasan praktis. Padahal, aturan berkendara dibuat demi keselamatan, namun anak-anak justru diajarkan untuk mengabaikan aturan sejak usia dini.

Ironinya, hal ini terjadi sejak TK, sehak anak-anak mengenal pendidiman. Coba diperhatikan banyak anak diantar ke sekolah tanpa helm. Mereka diajarkan untuk melanggar aturan secara tidak langsung. Pendidikan, yang seharusnya menjadi fondasi bagi generasi masa depan, justru berkompromi dengan kenyataan yang jauh dari ideal.

Dunia paradoks ini bukan sekadar persoalan regulasi atau teknis. Ini adalah persoalan moral, konsistensi, dan tanggung jawab kolektif.

Jika anak-anak kita diajarkan melanggar aturan sejak dini, bagaimana mereka akan menjadi pemimpin yang jujur di masa depan?

Jika keindahan kain endek palsu dan praktik ketidakadilan terus dibiarkan, apa yang sebenarnya kita ajarkan pada generasi penerus?

Dunia ini memang paradoks, tetapi kita harus memutuskan: tetap bertahan dalam ironi atau mulai membangun kejujuran dari sekarang.

Denpasar, 7 Januari 2025