HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Pendidikan Melahirkan Kebobrokan

March 3, 2025 06:36
IMG-20250303-WA0029

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Ketika negeri sudah bobrok, semua berpaling ke belakang. Mencari akar dari kehancuran yang kita hadapi kini.

Dan di sana, di masa lalu, kita temukan jawabannya: pendidikan.

Inilah yang membentuk mental pejabat yang kini kita tonton tingkah lakunya—gaji miliaran per bulan, korupsi triliunan, kekuasaan sebagai jalan memperkaya diri, bukan kesempatan untuk mengabdi.

Negeri ini memang kaya, tapi mentalitas manusianya miskin. Maka pertanyaannya bukan lagi apakah kita mau berubah? Melainkan, mampukah kita berubah?

Tak ada pilihan lain. Jika ingin mengubah negeri ini, ubahlah mentalnya. Dan mental itu lahir dari pendidikan.

John Locke dalam Tabularasa berkata, anak ibarat kertas putih, kita yang menulisinya. Kita—orangtua, guru, masyarakat. Tapi siapkah kita menulis yang benar?

Siapkah kita tak membayar komite sekolah yang katanya “sumbangan sukarela” tapi diwajibkan? Siapkah kita mengantar anak ke sekolah dengan helm, bukan sekadar mengeluh, ingin cepat dan praktis.

Maukah kita jujur, tak membelikan seragam endek palsu demi tampilan semu? Jangan pakai tetoron yang distempel hanya sekadar ingin patuh pada aturan berseragam?

Mampukah kita menuntut sekolah berhenti menarik iuran dalam berbagai nama? Cukupkan dengan dana BOS, apa pun hasilnya, toh jujur jauh lebih penting dari pintar?

Karena akar dari bobroknya negeri ini bukan sekadar korupsi di atas sana. Tapi di bawah, di lingkungan kita sendiri.

Kita terlalu sibuk mengejar prestasi akademik, angka-angka di rapor, seolah itu ukuran keberhasilan anak.

Tapi mana lebih penting—nilai bagus atau kejujuran? Anak-anak ini sedang berproses, tapi kita malah membentuk mereka menjadi generasi yang lebih peduli pada hasil daripada proses.

Kita ingin anak-anak kita nilai tinggi, tapi melupakan kejujuran.

Dan masyarakat? Dulu, di tahun 90-an, ketika seorang pelaku kejahatan disebut dalam berita di koran, kadus dan tetangganya ramai-ramai klarifikasi; bukan dari lingkungan kami, bukan keluarga kami, tetangga pada malu. Ia dikucilkan. Pegat mesidikara. Dulu ada rasa tanggung jawab kolektif itu.

Kini? Biasa saja. Cuek bebek. Bahkan dimaklumi, seakan-akan mencuri, menipu, menyuap adalah bagian dari hidup yang wajar.

Dulu keluar dari penjara diupacarai, dilukat, dibersihkan secara niskala agar tidak lagi kembali menghuni trali besi, sekarang? Malah dielu-elukan, disambut alphard, bahkan dijadikan pahlawan.

Inilah paradoks kita. Kita mengutuk korupsi, tapi membiarkan pungutan liar di sekolah. Kita ingin pemimpin yang bersih, tapi membela anak yang mencontek demi nilai tinggi. Kita menginginkan perubahan, tapi takut untuk mulai dari diri sendiri.

Maka, sebelum bertanya kapan negeri ini berubah, berkontemplasilah, tanyakan pada hati yang paling dalam: sudah siapkah kita berubah? (*)

Denpasar, 3 Maret 2025