Oleh: Remigius Ua
HATIPENA.COM – Setiap 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Sebuah tanggal yang bukan sekadar ritus seremonial, tetapi peringatan akan lahirnya seorang pemikir besar: Ki Hajar Dewantara. Gagasan pendidikannya melampaui zamannya. Ia tidak hanya berbicara tentang bagaimana mengajar, tetapi mengapa kita harus mendidik. Ia mengimpikan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia, yang memerdekakan pikiran dan perasaan, bukan sekadar mendisiplinkan tubuh.
Namun, pada Hardiknas 2025 ini, kita justru dihadapkan pada ironi yang menggigit. Di saat negara mewacanakan program gizi gratis di sekolah dengan gegap gempita, masih banyak anak-anak yang bersekolah di ruang darurat beratapkan daun gewang, berlantaikan tanah, dan tanpa penerangan. Jalan menuju sekolah masih berlumpur, akses informasi terbatas, dan tenaga pengajar di banyak tempat belum sejahtera, bahkan masih berstatus honorer tanpa kejelasan masa depan.
Visi yang Terlupakan
Ki Hajar menegaskan bahwa “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri.” Maka tugas pendidikan adalah menuntun, bukan menekan. Ia adalah seni memerdekakan. Tapi, dalam praktik hari ini, pendidikan sering kali berubah menjadi proyek, bukan proses. Pemerintah cenderung mengukur kemajuan pendidikan dari statistik, bukan dari wajah-wajah anak yang bersinar ketika mengerti satu konsep kecil dari kehidupan.
Para pemikir besar pendidikan modern seperti Paulo Freire juga bersuara senada. Dalam Pedagogy of the Oppressed, Freire menolak pendidikan gaya “banking”, di mana anak didik dianggap celengan kosong yang harus diisi. Pendidikan sejati, katanya, adalah dialog, relasi, dan pembebasan. Ketika pendidikan hanya menjadi alat kekuasaan dan politik, maka anak-anak kehilangan hakikatnya sebagai manusia yang bebas.
Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis, mengatakan bahwa manusia bukan sekadar makhluk rasional, tetapi makhluk yang mengada secara otentik. Maka, mendidik anak berarti menuntunnya untuk menjadi dirinya sendiri dalam dunia yang kompleks. Jika sistem pendidikan hanya mengejar output, tanpa peduli pada subjektivitas anak, maka pendidikan gagal memahami hakikat manusia.
Antara Program dan Realitas
Program makan bergizi gratis untuk siswa adalah contoh terbaru dari jurang antara wacana dan kenyataan. Ide ini lahir dengan itikad baik: meningkatkan kualitas belajar melalui pemenuhan gizi. Tapi pelaksanaannya tergesa-gesa, tanpa kesiapan teknis dan infrastruktur. Dapur di sekolah-sekolah tidak siap, tenaga kerja terbatas, dan sekolah justru kerepotan mengurus logistik daripada fokus pada pembelajaran. Program yang seharusnya memerdekakan, malah membebani.
Nietzsche pernah berkata, “ He who has a why to live can bear almost any how.” Pertanyaannya: apakah program-program pendidikan kita memiliki why yang jelas dan reflektif, atau hanya how yang terburu-buru?
Mencari Jalan Baru
Di tengah kompleksitas ini, kita harus mencari jalan lain yang lebih filosofis dan manusiawi. Beberapa di antaranya:
- Reformasi Pendidikan yang Berakar pada Kenyataan. Tidak ada perubahan sejati jika pemerintah pusat tidak serius mendengar suara guru dan kepala sekolah di pedalaman. Pembangunan pendidikan harus dimulai dari penguatan infrastruktur dasar, bukan dari kosmetika kebijakan.
- Humanisasi Guru. Guru bukan mesin kurikulum, melainkan pembimbing eksistensial. Kita perlu revolusi penghargaan, bukan sekadar pelatihan dan beban administrasi. Berikan kejelasan status, hak hidup layak, dan ruang dialog untuk mereka.
- Ekosistem Belajar yang Memerdekakan. Pendidikan bukan hanya urusan kelas, tetapi seluruh ekosistem: rumah, masyarakat, alam sekitar. Kita perlu menciptakan ruang belajar yang holistik, di mana anak-anak bisa tumbuh utuh, bukan hanya menjadi mesin ujian.
- Kebijakan yang Berdialog dengan Filsafat. Kebijakan publik pendidikan harus melibatkan perspektif etik dan filosofis, bukan hanya ekonomis dan birokratis. Pemerintah perlu belajar dari sejarah dan refleksi, tidak sekadar mengejar angka pencapaian.
Penutup
Ki Hajar Dewantara telah memberikan kompas moral yang jelas: pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan sejati manusia. Maka pada Hardiknas 2025 ini, mari kita berhenti sejenak, bertanya: ke mana arah pendidikan kita sebenarnya? Apakah kita sedang mendidik manusia merdeka, atau hanya mencetak angka-angka?
Di tengah sekolah yang masih berdaun gewang dan guru yang belum digaji layak, tugas kita bukan hanya menyediakan program, tetapi menghidupkan harapan. Harapan bahwa suatu saat, anak-anak Indonesia akan belajar bukan karena dipaksa, tetapi karena mereka merasa dihargai sebagai manusia. (*)