Seri Kekayaan Budaya Lampung Saibatin (2)
Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Gunung Pesagi berdiri megah, diselimuti kabut pagi yang dingin. Di sebuah pemukiman adat, seorang wanita tua, Nyai Ratu, terbangun dari mimpinya. Dalam mimpi itu, ia mendengar suara gamolan yang samar-samar, seolah memanggil namanya dari balik bukit. Itu adalah suara yang dikenal baik, suara yang sering mengiringi upacara adat semasa ia kecil. Namun, kali ini terasa berbeda; lebih khidmat dan penuh pesan.
Nyai Ratu segera menghadap sang Punyimbang (kepala adat) dan menceritakan mimpinya. Sang Punyimbang, setelah merenung sejenak, membuka kitab tua yang disimpannya. “Mimpi ini bukan sekadar mimpi,” ujarnya. “Ini adalah panggilan dari leluhur. Mereka merindukan alunan musik yang akan mengantarkan doa-doa kita. Sudah terlalu lama kita tidak mengadakan upacara Nyerbang untuk membersihkan kampung.”
Segera, seluruh masyarakat bergerak. Para lelaki mempersiapkan balai adat, sementara para perempuan menyiapkan sesajen. Yang paling sibuk adalah para pemusik. Mereka mengeluarkan gamolan, gendang, dan gong dari peti penyimpanan, membersihkannya dengan hati-hati seolah menyambut seorang tamu agung.
Seorang tetua adat berkata kepada para pemusik muda, “Ingat, ketika kalian memainkan ini nanti, kalian bukan hanya menghasilkan bunyi. Kalian adalah penerbang yang akan mengantarkan doa-doa kita agar sampai ke langit ketujuh, didengar oleh nenek moyang. Setiap pukulan adalah sebuah kata dalam bahasa langit.”
Malam itu, ketika api unggun menyala, upacara pun dimulai. Bunyi gamolan yang mantap dipadukan dengan gendang yang berirama ritmis mengisi udara. Nyai Ratu merasa bulu kuduknya berdiri. Ia bisa merasakan getaran musik itu bukan hanya di telinganya, tetapi hingga ke dalam jiwanya. Ia yakin, leluhurnya hadir pada malam itu, mendengarkan setiap nada yang dimainkan, menerima setiap doa yang dipanjatkan. Musik telah menjadi jembatan yang menghubungkan dunia nyata dengan alam spiritual.
Dalam masyarakat Lampung Saibatin, kehidupan tidak hanya berjalan di alam nyata, tetapi juga sangat terhubung dengan alam spiritual. Koneksi antara kedua alam ini dijaga dan dirawat melalui berbagai upacara adat yang sarat dengan makna dan simbol. Dan dalam setiap ritus tersebut, musik tradisional memainkan peran yang tidak tergantikan.
Ia bukan sekadar pengiring, melainkan medium penghubung, pemanggil kekuatan spiritual, dan penjaga ritme sakral yang mengatur setiap tahapan upacara. Seri kedua ini akan mengajak pembaca menyelami peran sentral musik tradisional dalam upacara adat dan spiritual masyarakat Lampung Saibatin, menganalisis makna filosofisnya, dan memahami bagaimana setiap nada menyampaikan pesan kepada para leluhur.
- Musik dalam Upacara Lingkaran Hidup: Dari Kelahiran hingga Kematian
Setiap tahapan kehidupan manusia dalam budaya Saibatin dirayakan dengan upacara, dan musik adalah elemen penanda transisi yang utama.
• Kelahiran (Ngebabangan): Kelahiran seorang anak adalah berkah. Upacara penyambutan bayi sering diiringi dengan alunan serdam yang lembut dan canang yang dibunyikan pelan. Musik ini dimaknai sebagai ungkapan syukur dan doa agar sang bayi memiliki kehidupan yang harmoni. Suara yang lembut juga dimaksudkan untuk tidak mengganggu atau menakuti roh halus yang mungkin berada di sekitar bayi yang masih dianggap suci.
• Pernikahan (Ngejuk Pepadun): Upacara pernikahan adalah puncak dari ekspresi kegembiraan kolektif. Musik di sini bersifat dinamis dan penuh semangat. Ensemble gamolan, gendang, dan gong dimainkan dengan irama yang riang (sering disebut irama lagu-lagu pepadun). Filosofinya, musik yang rancak ini simbol dari sukacita dua keluarga yang menyatu, doa untuk kehidupan rumah tangga yang penuh semangat, dan pengumuman kepada seluruh masyarakat tentang status baru mempelai.
• Kematian (Nindih): Pada upacara kematian, musik berperan sebagai pengantar sekaligus penghibur. Irama yang dimainkan biasanya lamban, khidmat, dan repetitif, seperti irama begu atau nihow. Fungsi filosofisnya adalah untuk mengiringi perjalanan arwah menuju alam baka, menenangkan keluarga yang berduka, dan mengingatkan semua orang tentang siklus kehidupan dan kematian yang merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. - Musik dalam Upacara Ritual Komunal dan Spiritual
Selain upacara daur hidup, musik menjadi tulang punggung ritual komunal yang bertujuan untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan leluhur.
• Upacara Besale (Penyembuhan): Besale adalah ritual penyembuhan yang dipimpin oleh seorang dukun adat (belian). Di sini, musik, terutama gendang, memainkan peran trance. Irama gendang yang monoton dan berulang (genderang besale) dimainkan untuk memanggil roh penolong dan membantu sang belian mencapai kondisi trance agar dapat berkomunikasi dengan alam gaib untuk mendiagnosis dan menyembuhkan penyakit. Sebuah kutipan dari tradisi lisan menyatakan: “Gendang pukul petang-petang, panggil jin panggil dewa, carik penyakik di tubuhing” (Artinya: “Gendang dipukul petang-petang, panggil jin panggil dewa, cari penyakit di dalam tubuhnya”). Analisisnya, musik di sini berfungsi sebagai “kunci” yang membuka pintu antara dunia nyata dan dunia gaib untuk tujuan pengobatan.
• Upacara Nyerbang (Membersihkan Kampung): Ini adalah ritual tolak bala dan pembersihan kampung dari pengaruh negatif. Musik dimainkan dengan powerfull dan penuh wibawa. Gong besar dan gamolan dipukul dengan keras dan berirama tegas. Filosofinya, bunyi-bunyian yang powerful ini dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat dan energi negatif yang mengganggu ketenteraman kampung. Musik menciptakan “getaran suci” yang menyapu bersih seluruh wilayah. Kitab Kuntara Raja Niti mengisyaratkan hal ini: “Ghumung gamolan ngobak debuk, ilang pengaruh jahat, kampung jadi suci” (Artinya: “Gemuruh gamolan mengusir kotoran, hilang pengaruh jahat, kampung menjadi suci”). Analisis mendalam menunjukkan bahwa musik dipandang memiliki kekuatan aktif untuk memurnikan ruang secara spiritual, bukan hanya sekadar simbol.
• Upacara Penyambutan Tamu Agung (Sekapur Sirih): Musik juga berperan dalam menunjukkan kewibawaan dan keagungan adat Saibatin. Penyambutan tamu agung akan diiringi dengan irama khusus yang disebut lagu-lagu khormat. Iramanya solemn dan penuh hormat. Setiap dentuman gong menegaskan status sang tamu dan penghormatan yang diberikan oleh tuan rumah. Di sini, musik adalah simbol dari Piil Pesenggiri (harga diri); masyarakat menunjukkan bahwa mereka memiliki tata krama dan budaya yang tinggi dan menghormati tamunya dengan cara yang paling mulia. - Filosofi Bunyi: Bahasa Universal untuk Berkomunikasi dengan Alam Gaib
Melalui berbagai ritual tersebut, terlihat jelas bahwa masyarakat Lampung Saibatin memandang bunyi atau musik sebagai bahasa universal yang dapat dipahami oleh manusia dan entitas spiritual. Setiap alat musik memiliki “bahasa”-nya sendiri:
• Gong berbicara dengan bahasa wibawa dan otoritas. Bunyinya yang dalam dan bergema menandakan hal-hal yang resmi dan penting.
• Gamolan berbicara dengan bahasa sejarah dan identitas. Iramanya yang khas menceritakan perjalanan dan jati diri masyarakat.
• Gendang berbicara dengan bahasa emosi dan transisi. Iramanya yang bisa diatur mengontrol suasana hati dan mengantarkan pada kondisi kesadaran yang berbeda.
• Serdam berbicara dengan bahasa hati dan doa. Suaranya yang melankolis menyampaikan kerinduan, permohonan, dan rasa syukur yang paling pribadi.
Dalam kitab Khaja Mulia terdapat petuah: “Adat sai diomong ngaku pesenggiri, adat sai didengik ngaku suara” (Artinya: “Adat yang diucapkan menunjukkan pesenggiri (harga diri), adat yang didengar adalah suara”). Kutipan ini secara mendalam menempatkan “suara” (termasuk musik) setara dengan “ucapan” sebagai perwujudan adat. Musik adalah adat yang dapat didengar, yang langsung menyentuh jiwa tanpa perlu diterjemahkan oleh akal.
Orkestra Penjaga Harmoni Kosmos
Pada akhirnya, musik tradisional dalam upacara adat Lampung Saibatin adalah orkestra penjaga harmoni kosmos. Ia menjaga keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan sang pencipta serta leluhur. Setiap upacara adalah sebuah drama kosmik, dan musik adalah soundscape-nya yang mengatur pacing, menandai entri setiap aktor (baik manusia maupun spiritual), dan menyampaikan narasi yang terdalam.
Dengan memainkan musik tradisional dalam setiap ritus, masyarakat Lampung Saibatin tidak hanya melestarikan sebuah seni. Mereka sedang mempraktikkan sebuah keyakinan bahwa kehidupan yang harmonis harus dirawat melalui dialog yang tidak putus dengan segala dimensi keberadaan, dan dialog itu diwujudkan melalui bahasa yang paling universal: bahasa musik. (*)
Sumber Referensi:
- Suhardi, dkk. (2006). Khaja Mulia: Kitab Adat Lampung. Bandar Lampung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung. (Format Fisik Terverifikasi di Museum Lampung).
- Abdullah, M. (2018). Kuntara Raja Niti: Tafsir dan Konteks Hukum Adat Lampung Saibatin. Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung. (Format Fisik Terverifikasi).
- Wasita, A. (2012). Ritual dan Kepercayaan Lokal Masyarakat Lampung. Yogyakarta: Penerbit Ombak. (Format Fisik Terverifikasi).
- Sari, D.P. (2019). “Musik dalam Ritual Besale: Studi tentang Fungsi Musik sebagai Media Komunikasi Spiritual pada Masyarakat Lampung Saibatin”. Jurnal Ilmu Komunikasi, 15(2), 112-125. (Format Digital Terverifikasi di portal garuda.ristekdikti.go.id).
- Saputra, H. (2017). “Nilai-Nilai Filosofis dalam Upacara Nyerbang Masyarakat Lampung Pepadun”. Jurnal Filsafat dan Budaya, 22(1), 78-92. (Format Digital Terverifikasi di portal ejournal.undip.ac.id).