Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Peradaban Bangsa: Pilar yang Rapuh dan Pentingnya Gerakan Kebudayaan

January 26, 2025 12:41
Keluarga salah satu pilar utama penopang peradaban (Foto: Meta AI/Hatipena)
Keluarga salah satu pilar utama penopang peradaban (Foto: Meta AI/Hatipena)

Bagindo Ishak

Kaba “Catuih Ambuih”

HATIPENA.COM – Kehancuran sebuah bangsa sering kali bukan disebabkan oleh ancaman eksternal, melainkan oleh ketidakmampuan masyarakatnya menjaga pilar-pilar fundamental yang menopang peradaban. Jared Diamond dalam bukunya Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed menjelaskan bahwa “masyarakat sering kali hancur karena gagal mengatasi tantangan internal yang diabaikan, termasuk degradasi moral dan sosial.” Dalam konteks bangsa, spiritualitas, pendidikan, dan keluarga adalah tiga pilar utama yang menjadi penopang peradaban. Ketika ketiganya goyah, peradaban pun berada di ambang kehancuran.

  1. Spiritualitas yang Tergadai oleh Politik Praktis
    Tokoh agama memegang peran vital dalam menjaga nilai-nilai moral dan spiritual masyarakat. Namun, ketika mereka lebih sibuk dengan “politik praktis”, haus akan jabatan, dan terjebak dalam materialisme, esensi dari peran mereka terkikis. Ungkapan seperti “kalau mau melakukan perubahan harus masuk dalam sistem” sering kali digunakan untuk membenarkan keterlibatan mereka dalam politik, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat kehilangan panutan yang sejati, sehingga spiritualitas sebagai fondasi moral kian memudar. Menurut Diamond, salah satu penyebab runtuhnya peradaban adalah ketika pemimpin masyarakat gagal menjaga kepercayaan rakyat dan lebih fokus pada keuntungan pribadi. Kehilangan kepercayaan terhadap tokoh agama berarti hilangnya pijakan spiritual yang menjadi panduan bagi generasi muda.
  2. Pendidikan yang Kehilangan Esensinya
    Pendidikan adalah sarana untuk mencetak generasi penerus bangsa. Namun, profesi guru yang seharusnya menjadi pilihan utama kini dipandang sebelah mata, sering kali menjadi pelarian setelah profesi lain tidak tercapai. Lebih parah lagi, beban administrasi yang menumpuk membuat para guru kehilangan fokus untuk mendidik. Alih-alih mengajarkan etika dan moral, mereka terjebak dalam formalitas yang tidak berdampak langsung pada karakter anak didik. Seperti yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan otak, tetapi juga untuk membangun manusia yang berkarakter.” Ketika nilai-nilai ini tidak lagi diajarkan, anak-anak tumbuh tanpa penghormatan terhadap guru dan hilangnya etika dalam pergaulan mereka.
  3. Keluarga yang Terkikis oleh Tuntutan Ekonomi
    Keluarga adalah institusi pertama dan utama dalam membentuk karakter anak. Namun, dalam masyarakat modern, tuntutan ekonomi mendorong kedua orang tua, termasuk ibu, untuk bekerja di luar rumah. Emansipasi yang seharusnya memberikan kebebasan bagi perempuan untuk memilih justru sering disalahpahami sebagai kewajiban untuk berkarier. Akibatnya, peran ibu sebagai pendidik utama tergantikan oleh asisten rumah tangga atau bahkan teknologi. Dr. Laura Markham, seorang psikolog anak, menegaskan bahwa “kasih sayang orang tua adalah fondasi utama bagi perkembangan emosional dan moral anak.” Ketika perhatian ini teralihkan, anak-anak tumbuh tanpa pengasuhan yang optimal, yang berdampak pada melemahnya generasi penerus bangsa.
  4. Kebudayaan sebagai Benteng Peradaban
    Dalam situasi seperti ini, gerakan kebudayaan menjadi penting untuk menjaga spiritualitas, pendidikan, dan peran keluarga. Seni dan kebudayaan memiliki kekuatan untuk menyampaikan nilai-nilai moral, etika, dan spiritual secara universal. Melalui pertunjukan seni, sastra, film, musik, dan tradisi lokal, kebudayaan dapat menjadi medium untuk mengajarkan generasi muda tentang pentingnya karakter, kebersamaan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur. Clifford Geertz, seorang antropolog budaya, menyatakan bahwa “kebudayaan adalah cara masyarakat memahami dan menjaga makna kehidupan mereka.” Ketika kebudayaan dilibatkan dalam proses pendidikan dan pembentukan moral, ia menjadi alat yang efektif untuk memperbaiki degradasi yang terjadi.

Mencegah kehancuran dan memastikan kemajuan peradaban bangsa, beberapa langkah dapat diambil:

  1. Mengembalikan peran tokoh agama sebagai penjaga moral, dengan menjauhkan mereka dari “politik praktis” yang sering kali mengikis kredibilitas mereka.
  2. Meningkatkan kualitas guru Dan pendidikan , dengan mengurangi beban administrasi guru dan memberikan ruang bagi mereka untuk fokus mendidik, khususnya dalam menanamkan nilai etika dan moral.
  3. Mendukung keluarga, melalui kebijakan yang memungkinkan keseimbangan antara pekerjaan dan tanggung jawab mengasuh anak, serta mempromosikan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan anak.
  4. Memanfaatkan kebudayaan sebagai kanal utama untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan spiritual, dengan melibatkan seni dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Sebagaimana Jared Diamond menyatakan, “Masyarakat yang mampu bertahan adalah mereka yang tidak hanya mengatasi tantangan, tetapi juga mampu belajar dari kesalahan.” Kebudayaan harus menjadi benteng yang menjaga agar spiritualitas, pendidikan, dan keluarga tetap menjadi prioritas utama. Melalui seni dan tradisi yang diwariskan, bangsa ini dapat memperkuat pilar-pilarnya dan mencetak generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter dan bermoral. (*)

Padang, 25 Januari 2025