Pembangunan Literasi dan Tantangan di Era Digital (3)
Oleh: Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Latihan menulis 15 menit pada awal jam belajar – yang digagas Kepala Dinas Pendidikan dan kebudayaan Lampung Thomas Amirico – sebuah terobosan baru yang patut diapresiasi guna menumbuhkan budaya menulis. Tapi pertanyaan kritisnya adalah, sejauhmana para pendidik, khususnya guru, memiliki keterampilan menulis yang memadai agar bisa memandu anak didiknya?
Selama ini, tidak sedikit guru yang mengalami kesulitan juga ketika harus membuat karya ilmiah sebagai bagian dari persyaratan untuk kenaikan pangkat atau golongan. Beberapa informasi diketahui bahwa banyak guru menggunakan jasa pihak ketiga guna memenuhi kewajiban tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa literasi menulis di kalangan para guru pun masih menjadi persoalan serius yang perlu segera dibenahi.
Belum lagi banyaknya persoalan nasib para guru, terutama di kalangan yang berstatus honorer dan PPPK, terkait soal pemenuhan kebutuhan dasar, yang selalu mengganggu konsentrasi saat mengajar peserta didik. Persoalan ini lambat laun akan menggerus komitmen dan dedikasinya untuk mencerdaskan anak bangsa.
Apabila para guru belum memiliki kecakapan menulis dengan baik, maka program literasi menulis untuk anak didik akan kurang efektif. Dalam persoalan ini, sosok guru bukan sekadar fasilitator, tetapi juga sebagai teladan dan menjadi contoh bagi pelajar. Karena itu, peningkatan kompetensi menulis bagi guru, satu hal yang tak bisa ditawar dan perlu dilakukan secara paralel dengan pelaksanaan program “15 Menit Menulis” untuk anak didiknya.
Satu hal yang menjadi kekhawatiran adalah, implementasi kebijakan ini sekadar formalitas bagi civitas sekolah. Program ini ada risiko menghasilkan tulisan seadanya, sekadar menggugurkan kewajiban, tanpa makna mendidik dan jauh dari cita-cita membangun literasi.
Karena itu, dibutuhkan strategi pedagogis yang jelas, umpamanya dengan pemberian tema yang relevan dengan perkembangan gen-z, pengayaan materi menulis secara kreatif, serta monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap hasil tulisan peserta didik.
Tetapi jika langkah ini dilakukan secara konsisten dan terus-menerus, program ini berpotensi akan melahirkan budaya menulis di lingkungan sekolah. Peserta didik tidak sekadar terbiasa menulis, tetapi juga mempunyai kesadaran bahwa menulis merupakan sarana berpikir reflektif dan kritis. Selain itu, program ini dapat menjadi garis start dalam membangun budaya literasi yang lebih luas di kalangan masyarakat Lampung.
Dengan demikian, maka keberhasilan program ini sangat bergantung pada dua faktor utama, yaitu kompetensi guru dalam membimbing latihan menulis dan tentu saja komitmen peserta didik dalam proses tersebut agar menjadi siswa literat.
Jika kedua aspek ini berjalan secara seimbang, maka program “15 Menit Menulis” bukan hanya sekadar kebijakan yang bersifat administratif, melainkan juga dapat menjadi fondasi penting bagi perkembangan dan pembangunan literasi masyarakat di masa depan.
Di sini, para pemangku kepentingan dituntut untuk merancang strategi pembangunan literasi yang lebih serius. Pemerintah, guru, dan orang tua harus berkolaborasi membangun ekosistem literasi yang menarik bagi gen-z agar menjadi generasi digital yang bermanfaat. (*)