Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
KATE budak Pontianak, “Jangankan kalah, seri pon tak maok.” Kira-kira itu gambaran Amerika Serikat negeri adidaya. Di saat rakyatnya suka joget-joget dengan Tiktok besutan China, eh Tiktoknya mau mau diblokir. Sambil menikmati kopi long black di Lokale Jalan Sepakat Pontianak, yok kita bahas phobianya Paman Usman, eh salah, Paman Sam pada produk China.
Amerika Serikat, sang polisi dunia, kembali unjuk gigi. Kali ini, lawannya bukan negara, bukan teroris, tapi… aplikasi joget-joget bernama TikTok. Iya, TikTok, tempat manusia menghabiskan waktu untuk membuat video 15 detik yang kadang lebih bermakna dari pidato politisi mereka.
Lalu muncul Donald Trump, presiden baru (besok resminya). Dengan dada membusung dan suara seperti pahlawan dalam film koboi, ia berkata, “Mungkin kita beri TikTok 90 hari. Mungkin ya. Karena itu tepat. Tepat sekali.” Kalimat itu terdengar seperti ramalan Nabi, tapi isinya cuma soal memperpanjang waktu sebuah aplikasi untuk tetap eksis. Dramatis.
Sementara itu, TikTok bereaksi seperti kekasih yang diancam putus. “Kalau Minggu ini gak ada kepastian, kami cabut!” Tapi Gedung Putih, yang sudah kenyang drama, hanya tertawa kecil sambil menyeruput kopi. “Itu cuma akting. Mereka gak bakal pergi,” kata juru bicara Karine Jean-Pierre, dengan tatapan penuh sinisme.
Situasi semakin panas. Pejabat keamanan nasional AS menyebut TikTok adalah kuda Troya China. “Mereka bisa pakai data kita buat mata-mata!” Bayangkan, agen rahasia China menguping rahasia negara lewat video tutorial makeup atau tantangan joget “Wednesday Dance”. Epik, bukan?
Trump tak mau kalah drama. Ia mengaku sudah berbincang langsung dengan Presiden Xi Jinping. Bayangan kita, wak, dua raksasa dunia ini duduk bersama, di meja bundar penuh strategi, membahas TikTok. Kenyataannya? Mungkin Xi hanya mendengarkan Trump lalu berkata, “TikTok itu masalahmu, bukan masalahku.”
ByteDance, pemilik TikTok, tak kalah bergaya. Mereka ogah menjual aplikasinya, walau dikepung ancaman. Seperti ksatria yang siap mati di medan perang, mereka berseru, “Kami takkan menyerah! TikTok tetap milik kami!” Kalau ini novel perang, ByteDance sudah pantas mendapat standing ovation.
Di tengah ini semua, rakyat Amerika kebingungan. “Kalau TikTok hilang, kami harus ngapain?” Kembali ke Facebook? Terlalu tua. Instagram? Terlalu cantik. Twitter atau X? Terlalu toxic. Sementara itu, aplikasi baru bernama “ReelTokDance” mulai muncul dari Silicon Valley, siap mengambil alih tahta.
Tapi begini ya, Paman Usman, eh salah, Paman Sam. Kok jadi latah ya wak. TikTok itu cuma aplikasi. Kalau hilang, hidup kalian tetap jalan. Matahari tetap terbit. Tapi, oh, tunggu. Bagaimana dengan influencer yang kehilangan brand deal? Bagaimana dengan Gen Z yang kehilangan panggung? Ya Tuhan, ini bukan sekadar perang aplikasi. Ini soal identitas bangsa.
Drama ini belum selesai. Trump, dengan karisma ala pahlawan film Marvel (versi bootleg), akan mengambil keputusan. Kita tunggu saja, apakah TikTok akan menjadi martir atau tetap berjoget di tanah Amerika. Apa pun itu, satu hal pasti, sejarah digital baru saja menulis bab yang paling absurd.
#camanewak