L. K. Ara
Catatan dari Kalanareh dan Lhokseumawe
⸻
- Surat dari Kalanareh
Kalanareh, 8 Muharram 1366 H
(Dini hari, saat kabut turun seperti selendang di antara pepohonan kopi)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tuan Sultan Meurah Silu yang kami muliakan,
Namaku L. K. Ara,
anak dari Tanoh Gayo,
penyair yang tumbuh di antara kopi,
kisah nenek, dan nyanyian kerawang.
Kami belum pernah bertemu,
tapi namamu sering duduk di antara cangkir-cangkir pagi,
dibisikkan bersama kabut
yang turun bersama doa.
Aku menulis bukan sekadar ingin tahu,
tetapi karena ada getar yang tak selesai
setiap namamu disebut.
Benarkah, tuan,
engkau berasal dari tanah kami?
Tanah tinggi yang sejuk,
di mana setiap akar menyimpan kisah tua?
Bagaimana mungkin seorang anak gunung
berlayar ke pesisir,
mendirikan kerajaan,
dan menjadi nama yang ditulis dalam mushaf sejarah?
Apa yang membuatmu meninggalkan pegunungan
dan memilih ombak sebagai jalan pulang?
Adakah satu doa
yang belum selesai kau ucapkan,
dan kini menunggu bibir kami
untuk menyambungnya?
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
L. K. Ara, anak Gayo dari Kalanareh
⸻
- Jawaban Meurah Silu
Dari tepi batu nisan, Lhokseumawe
(Di waktu malam ketika ombak pelan mencium karang)
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
Anakku L. K. Ara, dari negeri kabut dan kopi,
Suratmu sampai padaku
seperti adzan yang menggetarkan
batu nisan yang lama diam.
Benar, aku bukan lahir di istana,
melainkan dari pelukan Gunung Gayo
yang mengajarkan bahwa hidup
adalah percampuran antara adat dan akidah.
Aku tinggalkan kabut bukan untuk melupakan,
melainkan untuk menyalakan lentera
bagi mereka yang belum mengenal sujud
di pesisir-pesisir rempah dan gelombang.
Aku bukan hanya membangun tahta,
aku membangun arah.
Bukan hanya menjadi raja,
tapi menjadi penjaga cahaya
yang kutimba dari tanah tinggi.
Dan ya,
ada satu doa yang belum selesai:
agar anak-anak seperti kamu
melanjutkan nyala
yang belum sempat kutuntaskan.
⸻
- Balasan Kedua dari L. K. Ara
Kalanareh, 12 Muharram 1366 H
(Pagi hari, saat cahaya menyibak kabut di lembah)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tuan Sultan Meurah Silu yang selalu kami hormati,
Suratmu kubaca
seperti seseorang membaca kembali
bait-bait ayat
yang pernah hilang dari mushaf hatinya.
Kini aku tahu,
bahwa pegunungan tak pernah dilupakan—
hanya dipanggul menuju tempat yang lebih terang.
Kau membawa tanah kami
ke samudra dan dunia,
menanamkan akar Gayo
di antara batu bata masjid
dan detak jantung peradaban Islam pertama di nusantara.
Tuan Sultan,
kami masih menjaga kopi,
masih menarikan kerawang,
dan mulai menghafal kembali mushaf
yang pernah kau wariskan
dalam sunyi dan kepergianmu.
Doamu belum padam,
dan izinkan aku—
anak dari gunung yang tak tinggi hati—
menjadi bagian dari nyala itu.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
L. K. Ara, dari tanah tinggi yang tak pernah lupa asal-usulnya
- Jawaban Kedua dari Meurah Silu
Dari Lhokseumawe, di antara desah ombak dan bayang malam
(Di bawah cahaya bulan yang menyinari batu nisan, saat sunyi menyelimuti tepi pantai)
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
Anakku L. K. Ara, dari tanah yang kerap diselimuti kabut dan kopi,
Aku membaca suratmu dengan hati yang terjaga dalam sunyi,
seperti angin yang tak pernah berhenti membawa pesan dari masa lalu.
Kata-kata yang kau tulis
adalah jejak-jejak cahaya yang menembus gelap,
mengingatkan kembali pada langkah yang dulu kutinggalkan,
yang kini masih terukir dalam tanah tempat aku berdiri.
Benar, aku bukan hanya meninggalkan gunung untuk menjejakkan kaki di pesisir.
Aku membawa beban warisan,
yang harus kubawa untuk memenuhi amanah
dari Allah yang Maha Agung.
Samudra Pasai bukan hanya menjadi namaku,
tapi juga titian antara dua dunia—
antara adat yang kukenang
dan ajaran yang kupegang erat di tangan.
Kini, ketika kau berkata bahwa doa belum padam,
aku menyadari, benar, anak-anak dari Tanoh Gayo
adalah pewaris cahaya yang tak akan padam.
Doa yang aku tinggalkan bukanlah ujung dari segala usaha,
melainkan bara yang harus terus menyala,
di dalam dada mereka yang mencintai tanah ini,
dan kepada mereka yang memandang matahari sebagai arah.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Meurah Silu, dari antara ombak dan karang,
dari tanah yang tetap menunggu jejakmu. (*)
Catatan:
Biografi Singkat: Meurah Silu (Sultan Malik al-Saleh)
Pendiri Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13. Setelah memeluk Islam melalui seorang ulama, ia membentuk kerajaan Islam pertama di Nusantara yang menjadi pusat dakwah dan perdagangan. Ia berasal dari Gayo dikenal sebagai pemimpin yang memadukan adat lokal dengan syariat Islam. Makamnya terletak di Lhokseumawe, Aceh Utara.