Oleh: Among Kurnia Ebo
HATIPENA.COM – Yang tengah itu sebetulnya penulis. Tapi generasi old. Yang sudah tak produktif menulis lagi. Kecuali menulis di Facebook atau group sosmed lainnya.
Tapi, hari ini yang tengah itu merasa bahagia. Mengapa? Karena pas mudik Lebaran ini bisa ketemu dua penulis kondang generasi baru yang karyanya lagi hits dan lagi nggendero.
Yang sebelah kiri itu Ahmad Rifai Rifan. Penulis paling produktif aseli Lamongan yang punya rekor muri dengan jumlah terbitan buku terbanyak, hampir dua ratus judul.
Bukunya banyak dicetak oleh Gramedia Group dan sebagian besar cetak ulang berkali-kali. Orangnya rada introvet memang karena golongan darahnya bukan -O- tapi tetap gaul meski lebih banyak mendengar daripada bicara. Lebih banyak menulis daripada manggung di acara-acara literasi. Bukunya Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk sudah dicetak ulang tiga puluh tiga kali oleh penerbit Quanta (Group Gramedia).
Yang sebelah kanan itu namanya Aditya Akbar Hakim Guru Bahasa Indonesia SMA 2 Negeri Lamongan (almamater saya dulu waktu SMA) yang juga penulis buku produktif dan pegiat komunitas literasi.
Salah satu bukunya bahkan diterbitkan di Malaysia dan menjadi best seller di negeri jiran itu. Belakangan Pak Guru banyak diminta untuk mengisi acara-acara literasi (kepenulisan kreatif) di berbagai kota sebagai narasumber utama.
Selain aktif menulis buku, ia juga pembelajar sejati karena sekarang lagi menyelesaikan tugas akhirnya di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Dan rencananya jika ada beasiswa lagi yang bisa direbut, sudah ancang-ancang untuk lanjut program doktoral.
Sebagai penulis generasi old yang pada jamannya menguasai halaman Kropel (Kronika Pelajar) dan Majalah Kuntum IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) saya merasa bangga punya generasi muda penerus literasi yang aseli Lamongan.
Setidaknya kader penulis produktif dari Lamongan tidak putus di tengah jalan. Saya hanya bisa mengucapkan kata salut dan menepuk bahu mereka sebagai support agar terus berkarya. Dan menularkan ilmunya kepada anak-anak muda Lamongan lainnya.
Jika ingin dikenang oleh sejarah, menulis adalah cara terbaik bagi orang-orang yang tidak punya privilis. Yang bukan anak raja, bukan anak presiden, bukan anak pejabat, bukan anak pengusaha tajir. Menulis adalah cara melompat secara mandiri dengan bekal otak dan skill mengolah kata. Dan rangkaian kata itu yang membuat mereka punya nama harum dan diperhitungkan di kancah literasi nasional.
Belum lama sebelum Ramadan kemaren Gola Gong juga sempat mampir di base camp para penulis muda Lamongan di Perum Griya Asri, Pangkatrejo, Lamongan kota. Gola Gong duduk persis di tempat saya duduk. Senang saja Lamongan sudah dipedulikan oleh penulis-penulis gaek tanah air.
Selamat Cak Adit dan Cak Rifan. Teruslah menulis sampai semesta tak mampu lagi mengalirkan ilham menembus otak kalian. Selama ide masih berkeliaran di langit gagasan, tangkaplah dan abadikan dalam buku-buku berikutnya…
Ketemu kalian melengkapi pertemanan saya dengan dua penulis gaek aseli Lamongan lainnya Pak Doktor Aguk Irawan Mn yang sekarang sedang di Yordania menyalurkan bantuan untuk pengungsi Palestina dan Cak Mahfud Ikhwan yang barusan landing di Yogya setelah launching novelnya di India karena Dawuk barusan diterjemahkan dalam bahasa Hindi dan ceritanya diterima antusias oleh publik negaranya Shahrukh Khan itu.
NB: Jangan tanya isi rekening ke kami. Karena kamu lebih senang bicara tentang buku. Dan tak perlu heran juga jika harta kami yang sesungguhnya adalah tumpukan buku-buku.
Buku adalah harta karun yang paling berharga bagi setiap penulis. Yang pasti, dengan menulis dan mengolah kata menjadi kalimat dan Alenia, kami masih bisa makan enak dan tidur nyenyak sampai sekarang. (*)