Rizal Pandiya
HATIPENA.COM – Kemarin saya dikirimi gambar meme sebuah SPBU Pertamina, oleh seseorang. Sepintas gambar itu tidak berbeda dengan stock foto yang saya punya. Tapi saya terperanjat ketika melihat logo Pertamina yang berubah nama menjadi “Penjahat”. Haaa…!
Lalu ada plang bertuliskan “Maaf !!! Pertamax Sedang Dioplos”. Biasanya plang itu bertuliskan “Pertalite sedang dalam perjalanan” sebagai pengumuman pengganti “Pertalite Habis!”
Gaya bahasa eufemisme ini memang sering muncul untuk melemahkan daya kritik dan resistensi masyarakat, terutama menyangkut soal harga. Naik harga diganti dengan “menyesuaikan”, harga murah dikonversi dengan kata “harga terjangkau”, dioplos diganti dengan “diblending”.
Drama soal Pertalite dengan Pertamax, rupanya sudah menjadi buah jempol (bukan buah bibir lagi) bagi netizen. Meski terkesan hidup dalam damai, antrean membeli BBM lebih panjang daripada utang negara. Semua orang sudah terbiasa dengan drama di SPBU, dari yang antre sejak subuh sampai yang tiba-tiba punya keahlian nyalip tanpa rasa bersalah.
Lalu kenapa rakyat rela antre panjang beli Pertalite? Karena dompet juga punya perasaan. Harga Pertalite lebih murah, dan isi dompet seringnya lebih kosong dari hati mantan yang ditinggal nikah. Jadi, ya mau gimana lagi?
Walaupun isinya sama, yang murah tetap juara. Masyarakat sekarang udah paham kalau beli Pertamax pun isinya ya Pertalite. Jadi, buat apa bayar mahal kalau bisa dapat yang sama dengan harga lebih murah?
Ada orang yang punya mobil mewah dengan CC tinggi, akhirnya ngisi Pertalite juga. Kenapa? Karena percuma beli Pertamax kalau isinya juga barang hasil subsidi. Gengsi mau disimpan di mana? Alhasil, Ferrari pun bisa antre bareng Beat.
Ada juga yang antre beli Pertalite itu bukan sekadar beli BBM, tapi ajang silaturahmi. “Lama ya, Yai?” “Iya, udah dua jam, tapi tetap semangat!” Bisa dapat teman baru, gosip terbaru, bahkan kadang dapat jodoh di antrean.
Yang jelas, orang yang punya mobil mahal, beli Pertamax karena alasan Oktan 92 lebih unggul daripada Oktan 90, meski “lebih terjangkau”, tapi lebih sehat buat mesin. Pertamax bersih, jadi mesinnya lebih awet dan nggak gampang masuk angin.
Beda dengan Pertalite, dengan Oktan 90, memang harga “lebih terjangkau”, tapi mesin motor, konon gampang ngambek. Kalau motor diisi ini terus, siap-siap mesinnya “batuk-batuk” kayak orang kena angin malam.
Tapi, mau oktan berapa pun, kalau BBM-nya dioplos, tetap aja rakyat yang rugi! Kalau begini terus, jangan heran kalau besok ada edisi baru: “Pertalite Rasa Premium, Dijamin Oplosan!”
Jadi, meskipun harga BBM naik turun kayak sinyal Wi-Fi gratisan, rakyat tetap setia antre. Soalnya, Pertamax dan Pertalite boleh saja dioplos, tapi kehidupan harus tetap berjalan… walaupun jalannya sambil dorong motor! (*)
#MakDacokPedom