Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Malam di Teluk Semaka terasa lain pada musim angin timur. Laut seperti tidur, gelombangnya menghela napas panjang, menyisakan bisikan ombak di antara batu-batu karang. Di kejauhan, lampu-lampu perahu nelayan hanya tampak seperti bintang yang jatuh di permukaan air. Di tepi pantai, obor mulai dinyalakan. Aroma damar terbakar bercampur harum daun pandan kering yang terbawa angin.
Itulah tanda Pesta Ngebambang akan dimulai, ritual mengantar perahu roh menuju alam leluhur. Dulu, ini adalah pesta tahunan bagi masyarakat adat Saibatin di pesisir Lampung; kini, hanya tersisa dalam ingatan dan rekaman para tetua.
Sebagian orang menyebut ritual ini “jalan pulang bagi jiwa”, sebagian lain menyebutnya “pesta laut untuk mereka yang telah pergi”. Namun, bagi Saibatin, Ngebambang adalah janji yang tak boleh diingkari: janji untuk tidak membiarkan roh leluhur hanyut tanpa arah.
Sebelum memahami Pesta Ngebambang, kita perlu mengenal wajah budaya yang melahirkannya. Masyarakat Saibatin adalah suku pesisir Lampung yang hidup dalam sistem aristokrasi adat. Mereka mengenal satu pemimpin tunggal yang disebut Saibatin, kata ini bermakna “satu batin” atau “satu jiwa” dalam memimpin.
Dalam pandangan mereka, laut adalah ibu, perahu adalah ayah, dan pantai adalah rahim tempat manusia dilahirkan kembali dalam tiap perjalanan hidupnya. Itulah sebabnya, ketika seorang anggota masyarakat meninggal, laut harus diberi tahu, dan roh harus diantar dengan perahu simbolis.
Dalam catatan Kitab Adat Tuha Kagungan Sai Batin yang disimpan di rumah adat Teluk Betung (naskah lontar berusia ratusan tahun, kini tersimpan dalam bentuk digital), ada kutipan: “Sai nyak bumi, sai nyak lau. Jari pitu tunggu, jari pitu lamban. Ngejalan roh, lalok di tanoh tuha.”
(Satu asal dari bumi, satu asal dari laut. Menjadi tujuh penunggu, menjadi tujuh rumah. Mengantarkan roh, tidur di tanah tua).
Kutipan ini menjadi dasar keyakinan bahwa laut dan bumi sama-sama menjadi asal dan tujuan akhir manusia.
Para tetua Saibatin sering mengisahkan legenda Lakuma Raja Lautan, seorang penyimbang (pemimpin adat) yang hidup pada masa badai besar menenggelamkan banyak kampung.
Dikisahkan, Lakuma melihat para warganya kebingungan mencari tempat berlindung. Ia lalu berdoa di tepi pantai selama tujuh malam, hingga tubuhnya menjelma menjadi perahu besar yang menampung ratusan jiwa. Saat banjir surut, ia tak kembali menjadi manusia, melainkan tetap menjadi perahu yang berlayar ke cakrawala.
Sejak itu, setiap kematian orang penting di kampung, mereka membuat perahu kecil sebagai penghormatan. Perahu itu disebut perahu roh, diyakini sebagai warisan simbolis dari Lakuma.
Di kampung tua Bukit Teluk, prosesi Ngebambang diawali seminggu sebelum hari pelarungan. Tetua adat akan memanggil pemuda-pemuda untuk memilih batang kayu ringan dari hutan bakau. Kayu ini tidak boleh dipotong sembarangan, melainkan setelah diberi izin secara adat.
Dialog yang sering terdengar:
Tetua Adat: “Ingat, kayu ini bukan hanya batang. Ia akan menjadi tubuh roh.”
Pemuda: “Kami akan memahatnya seperti memahat wajah sendiri, Tuha.”
Setelah perahu dibentuk, perempuan kampung menenun kain kecil berwarna merah, putih, dan kuning.
Tiga warna ini melambangkan keberanian, kesucian, dan kemakmuran, tiga sifat yang diharapkan menyertai roh dalam perjalanan.
Malam yang dipilih bukan sembarangan: bulan purnama dianggap sebagai jalan terang bagi roh. Pantai dihias dengan obor dari bambu, anak-anak berlarian membawa bunga laut, sementara orang tua duduk melingkar, bersenandung pelan.
Ketua adat lalu membaca doa yang diwariskan dari generasi ke generasi:
“Bambang, bambang, laloklah di lawok. Ujan bintang buka lawang, arwah pulang ke ojan tuha.”
(Bambang, bambang, tidurlah di laut. Hujan bintang membuka pintu, arwah pulang ke langit tua.)
Doa ini memadukan alam (laut, bintang) sebagai metafora gerbang antara dunia hidup dan dunia leluhur. Roh dianggap “tidur” di laut sebelum “naik” ke langit.
Saat gong pertama dibunyikan, para lelaki mengangkat perahu roh, mengaraknya dari balai adat menuju pantai. Sepanjang jalan, perempuan menyanyikan hiwang, nyanyian pengantar arwah.
Di bibir pantai, perahu roh diletakkan di air, diikat dengan tali daun pandan. Ketua adat memercikkan air laut ke perahu, lalu melepaskan ikatan. Ombak kecil mendorongnya menjauh. Semua orang menunduk, seolah melepas anak mereka sendiri.
Makna Simbolik dan Filosofis
- Perahu sebagai Jasmani Roh, Dalam kosmologi Saibatin, perahu roh adalah “jasad” baru yang dipakai roh untuk menempuh perjalanan akhir. Filosofi ini mengajarkan bahwa kematian adalah perjalanan, bukan akhir.
- Bulan Purnama sebagai Cahaya Jalan, Bulan purnama melambangkan penerangan batin. Ia memberi arah bagi roh, sekaligus menyimbolkan bahwa setiap perjalanan memiliki penerang.
- Pelarungan di Laut, Laut diibaratkan rahim ibu yang menerima kembali anaknya. Melarung perahu berarti mengembalikan roh ke asalnya.
- Musik Gong dan Nyanyian Hiwang, Bunyi dianggap bahasa yang dipahami roh. Gong sebagai suara bumi, nyanyian sebagai suara hati.
Tradisi ini bukan hanya penghormatan pada leluhur, tetapi juga pendidikan karakter. Anak-anak belajar untuk menghargai alam, mengingat asal-usul, dan menjaga hubungan dengan sesama. Nilai Piil Pesenggiri, rasa malu berbuat salah, harga diri, dan kehormatan, tertanam lewat ritual ini.
Seorang tetua pernah berkata: “Kalau kita lupa melarung perahu roh, kita lupa jalan pulang.”
Makna yang tersirat adalah: jika adat ditinggalkan, akar budaya akan hilang, dan generasi mendatang akan kehilangan arah.
Di masa kini, Pesta Ngebambang jarang dilakukan. Biaya besar, waktu panjang, dan pandangan bahwa ritual ini “tidak relevan” membuatnya meredup. Hanya segelintir kampung di pesisir Lampung yang masih melaksanakannya.
Namun, ada gerakan pelestarian oleh komunitas adat yang mencoba merekam ritual ini dalam bentuk film dokumenter, buku cerita anak, dan festival budaya. Harapannya, generasi muda dapat mengenal kembali makna perahu roh, bukan sekadar sebagai artefak museum, tetapi sebagai identitas yang hidup.
Mungkin suatu hari nanti, laut Teluk Semaka akan kembali memantulkan cahaya obor dari pantai, gong dipukul lagi, dan perahu roh akan meluncur di bawah bulan purnama. Sebab, meskipun tradisi ini jarang dilakukan, di hati masyarakat Saibatin, perahu roh itu tidak pernah benar-benar tenggelam. Ia berlayar di ingatan, menunggu dipanggil kembali. (*)
Referensi Terverifikasi
• IndonesiaKaya.com – Masyarakat Adat Lampung Saibatin
• JDIH Lampung – Sejarah Penyimbang dalam Tradisi Sai Batin
• Phinemo.com – Piil Pesenggiri dan Adat Saibatin
• Arsip Tradisi Saibatin (ATS-1930), Digitalisasi Dinas Kebudayaan Lampung.