Ilustrasi : AI/ Hatipena
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Laut yang dulu tak bertepi kini menjelma daratan. Seakan menantang takdir, manusia merentangkan jembatan, menghubungkan pulau ke pulau, membangun peradaban di atas buih gelombang.
PIK dan PIS, dua nama yang berbeda, namun seperti pantulan cermin satu sama lain. Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta (Banten) dan Pantai Serangan (PIS) di Bali, dua kawasan yang lahir dari reklamasi.
PIK, tumbuh di pesisir utara ibu kota, membentang megah dengan hunian mewah, kafe-kafe modern, dan hamparan pasir putih buatan. PIS, diam-diam berpotensi mengikutinya, dengan posisinya yang strategis di dekat Bandara Ngurah Rai, menghadap samudra yang dulu liar, kini dijinakkan dengan beton dan rancangan tata kota.
Jembatan menjadi saksi perjalanan waktu. Di PIK, jembatan tol menghubungkan PIK 1 dan PIK 2, membelah perairan, mempermudah akses bagi mereka yang mengejar kenyamanan urban. Di PIS, Jembatan Serangan menghubungkan Pulau Bali dengan Pulau Serangan, seakan memberi tanda bahwa perubahan tak bisa dihindari.
Namun, di sinilah paradoksnya. Apa yang terlihat sebagai kemajuan, terkadang menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Jika PIK dan PIS terus berkembang sebagai kawasan eksklusif, lalu bagaimana dengan masyarakat sekitar? Apa kontribusinya bagi Jakarta dan Banten? Apa artinya bagi Bali yang sarat dengan spiritualitas dan kearifan lokal?
Pura Sakenan, yang berdiri kokoh di Pulau Serangan, menyaksikan perubahan ini dengan diam. Ombak yang dulu membawa para pemedek ke pura kini beradu dengan gemuruh mesin mobil dan motor. Janji-janji tentang lahan parkir, akses publik ke pantai, serta keseimbangan ekologi, masih menggantung seperti awan mendung di cakrawala.
Di PIK, situasinya pun tak jauh berbeda. Pantai yang dahulu bebas dinikmati, kini perlahan-lahan menjadi hak istimewa segelintir orang. Reklamasi yang menjanjikan kemakmuran, apakah juga menghadirkan keadilan? Ataukah hanya mengubah laut menjadi sekadar lahan investasi? Tempat bagi orang-orang berdasi?
PIK dan PIS, dua wajah dari koin yang sama. Satu di barat nun jauh di Banten (Jakarta), satu di timur nun jauh di Bali. Keduanya berdiri di atas daratan baru, tapi pertanyaan lama tetap menggema: siapa yang sesungguhnya menikmati pembangunan ini?
Dan, apakah alam dan budaya bisa tetap bertahan di tengah gelombang kemajuan?
Di persimpangan ini, dunia paradoks menatap kita. Akankah kita belajar dari sejarah, atau sekadar mengulanginya dengan wajah yang berbeda? (*)
Jakarta, 6 Februari 2025