Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

PMII 65 Tahun, dari Idealisme ke Realitas

April 17, 2025 19:45
IMG-20250417-WA0020

Yusrizal Karana, M.IP
Sekretaris PC PMII Lampung 1992-1993

HATIPENA.COM – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan Islam tertua dan terbesar di Indonesia. Memasuki usia ke-65 pada 17 April 2025, PMII telah melahirkan banyak tokoh penting dan memberikan kontribusi signifikan terhadap perjalanan bangsa. Namun, di tengah usianya yang matang, evaluasi atas soliditas dan konsistensi pergerakan menjadi penting untuk dilakukan.

Tetapi besarnya organisasi ini, kadang seperti buih di lautan: terlihat banyak tapi tak bisa dijadikan pijakan. Banyak kader dan alumni yang hidup secara nafsi-nafsi, lebih sibuk menyelamatkan diri sendiri ketimbang membimbing atau mengangkat kader yang tertinggal di belakang.

Ketika masih mahasiswa, semua tampak guyub, tidur bareng di sekretariat, diskusi sampai subuh, makan nasi bungkus bersama. Tapi ketika satu demi satu lulus, nostalgia itu perlahan sirna. Banyak yang sukses secara individu, tapi lupa pada ikatan kolektif yang dulu membesarkan.

PMII seolah kehilangan semangat kolektif yang pernah membara. Mental hedonis, ingin cepat selamat, dan kehausan akan jabatan, secara perlahan menggerogoti jiwa perjuangan. Fenomena ini makin terasa ketika dibandingkan dengan organisasi kemahasiswaan lain seperti HMI yang mampu menjaga soliditas hingga ke tingkat alumni melalui KAHMI, yang terus eksis dan terorganisasi.

Namun kita tidak bisa menutup mata bahwa ada juga kabar baik yang perlu dicatat. Di Lampung, misalnya, dua kader PMII kini menjadi pemimpin daerah: Gubernur Rahmat Mirzani Djausal dan Wakil Gubernur Jihan Nurlaila. Selain itu, banyak kader PMII lainnya yang kini duduk sebagai wali kota, wakil wali kota, bupati, atau wakil bupati di berbagai daerah.

Tidak berhenti di daerah, kader PMII juga banyak yang berkiprah di tingkat nasional, yang tergabung dalam Kabinet Merah Putih. Sebut saja Nazaruddin Umar yang menjabat Menteri Agama, Nusron Wahid sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Arifatul Choiri Fauzi sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Abdul Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja, Juri Ardiantoro sebagai Wakil Menteri Sekretaris Negara. Selain itu, Abdul Kadir Karding sebagai Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) sekaligus Kepala BP2MI.

Dari kalangan milenial, Aminuddin Ma’ruf juga dipercaya menjadi Staf Khusus Presiden, dan tentu saja, dari tanah Sai Bumi Ruwa Jurai, Muhammad Aqil Irham, kader PMII Lampung, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Utama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Ini semua adalah capaian yang layak diapresiasi, meski PMII bukanlah organisasi yang berorientasi pada kekuasaan atau jabatan. Namun jika kader yang ditempa dengan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan berhasil memerankan diri sebagai pemimpin yang amanah, maka itu adalah bonus dari perjuangan panjang yang ikhlas dan tulus. Sebagaimana hadist Hubbul Wathan Minal Iman – cinta tanah air adalah bagian dari iman – dan semangat Fastabiqul Khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan, itulah pijakan dasar gerakan PMII sejak awal.

Sebagaimana pernah ditegaskan oleh M. Abdullah Syukri, Ketua Umum PB PMII periode 2020–2022, dalam sebuah diskusi refleksi gerakan mahasiswa, “Kader PMII harus terus bergerak, tapi bukan sekadar bergerak. Kita harus memastikan setiap langkah kita membawa manfaat, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk umat dan bangsa. Jangan biarkan idealisme kita mati saat jas almamater dilepas.”

Pesan ini seakan menjadi pengingat kolektif bagi kader dan alumni PMII agar tidak kehilangan orientasi perjuangan. Jabatan, prestise, dan keberhasilan pribadi hanyalah bonus dari kerja-kerja ideologis yang bersandar pada nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.

Sebagaimana pula yang pernah disampaikan oleh almarhum KH. Hasyim Muzadi, salah satu tokoh besar alumni PMII yang kemudian menjadi Ketua Umum PBNU, “Gerakan mahasiswa tidak boleh berakhir di kampus. Ketika keluar dari kampus, dia harus menjadi agen perubahan di masyarakat. Kalau dulu kita berjuang untuk cita-cita, maka setelah lulus kita harus memperjuangkan realitas.”

Kutipan ini menegaskan bahwa proses kaderisasi bukanlah terminal akhir, melainkan titik awal untuk pengabdian yang lebih luas. Ketika kader PMII masuk ke ruang-ruang strategis pemerintahan, dunia usaha, atau masyarakat sipil, maka yang dibawa bukan hanya nama, tapi nilai dan ruh perjuangan.

Dengan semangat Hubbul Wathan Minal Iman, PMII seharusnya tidak hanya menjadi tempat persinggahan intelektual semata, tetapi kawah candradimuka yang membentuk pemimpin berintegritas dan berkeadaban. Perjalanan panjang selama 65 tahun bukan hanya angka, melainkan jejak kontribusi yang mesti dijaga dan ditingkatkan.

Kini, tantangan ke depan makin kompleks: krisis identitas, polarisasi politik, hingga tekanan global terhadap kemandirian bangsa. Di sinilah PMII dan para alumninya diuji, apakah tetap menjadi bagian dari solusi atau justru terjebak dalam zona nyaman kekuasaan.

Sudah waktunya kader PMII tidak hanya dikenang karena warna jaketnya yang biru langit, tapi karena keteladanan, keberanian, dan manfaat nyata yang diberikannya di tengah masyarakat.

Saya juga ingin berpesan kepada kader-kader muda yang masih berjuang sebagai mahasiswa, agar terus memelihara persatuan, persahabatan, dan persaudaraan. Yang mampu, bantu yang kekurangan. Yang kuat, belalah yang lemah. Yang pintar, bimbinglah teman seperjuangan agar bersama-sama bisa mencapai garis finis yang dicita-citakan.

Jangan sampai yang baru mengerti sedikit soal hukum lalu sibuk pamer kepandaian – mengoreksi seniornya dengan pasal-pasal, seperti orang yang sedang puber hukum. PMII bukan tempat pamer ego atau intelektualisme semu, melainkan ruang untuk saling menguatkan dan bertumbuh.

Karena pada akhirnya, nilai sejati dari sebuah organisasi bukan diukur dari seberapa banyak kader yang jadi pejabat, tapi dari seberapa kuat ia bisa menumbuhkan solidaritas dan semangat kolektif dalam membangun bangsa ini.

Selamat Harlah ke-65 PMII. Teruslah menjadi rahmat bagi umat, bukan sekadar organisasi yang hidup dari nama besar masa lalu. Karena perjuangan sejati, seperti kata almarhum Hasyim Muzadi, adalah menjadi manusia yang bermanfaat.(*)