Oleh: Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Hari Bhayangkara datang lagi. Semua halaman Mapolda di Indonesia dipenuhi karangan bunga, dari berbagai lembaga pemerintah dan swasta mengucapkan selamat. Beberapa ruas jalan bahkan berjejer papan karangan bunga hingga ratusan meter dari dua sisi jalan. Kemacetan arus lalu lintas pun tak dapat dihindari.
Peringatan tahun ke-79 ini, mengusung tema yang tampaknya sangat mulia, “Polri Untuk Masyarakat.” Tapi di tengah gegap gempita itu, muncul satu pertanyaan yang menggantung di kepala banyak orang, “Untuk masyarakat atau untuk kekuasaan?”
Karena faktanya, beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh data yang menyebutkan bahwa, sebanyak 1.255 perwira polisi aktif, didistribusikan ke berbagai kementerian dan lembaga negara.
Penempatan ini dilakukan lewat enam surat telegram Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tertanggal 12 Maret 2025. Tujuannya? Tidak disebutkan secara rinci. Yang jelas, Polri sekarang ada di mana-mana.
Mulai dari Badan Pangan Nasional, Kementerian Ekonomi Kreatif, Kementerian Kesehatan, ATR/BPN, PPATK, sampai ke DPD RI. Nama-nama perwira yang menempati posisi strategis juga bukan tokoh sembarangan.
Ada Irjen Prabowo Argo Yuwono, Irjen Mohammad Iqbal, Irjen Djoko Poerwanto, Brigjen Arman Achdiat, dan Brigjen Moh Irhamni, dan banyak lagi.
Kata Kapolri, ini tidak melanggar hukum. Ada payung hukumnya, seperti UU Polri, UU ASN, dan PP No. 11 Tahun 2017. Tapi tetap saja publik terhenyak. Bukan soal legalitasnya semata, tapi soal semangat reformasi yang terasa makin kabur.
Bukankah kita dulu sepakat meninggalkan praktik Dwi Fungsi ABRI? Bahwa seragam militer (termasuk kepolisian) tidak lagi merangkap jabatan sipil, agar birokrasi sipil bisa tumbuh sehat dan netralitas aparat terjaga.
Tapi kini, seragam cokelat mulai menduduki kursi-kursi di ruang sipil, dengan jumlah dan skala yang tidak main-main.
Di luar pagar institusi, publik mulai bertanya-tanya, apakah Polri sedang menjelma menjadi partai politik tak resmi? Julukan ‘parcok’ alias partai cokelat pun muncul – sebagai kritik terhadap meluasnya pengaruh polisi dalam jabatan sipil.
“Buat apa ada rekrutmen ASN? Buat apa kita sekolah bertahun-tahun, kalau akhirnya jabatan strategis diberikan ke orang yang belum tentu paham birokrasi sipil?” tanya seorang akademisi.
Lalu apa yang dicari para perwira ini di kementerian dan lembaga negara lainnya? Apakah semata-mata tugas negara? Ataukah ada “jalur karier” yang lebih menjanjikan?
Apapun jawabannya, publik mulai khawatir kalau Polri bukan hanya menjaga masyarakat, tapi juga sedang “menjaga posisi” di tengah pusaran kekuasaan.
Polri Untuk Masyarakat?
Tema Hari Bhayangkara tahun ini sangat bagus, “Polri Untuk Masyarakat.” Namun di balik tema yang menarik ini, wajah 79 tahun Polri masih dilekati oleh catatan kelam kekerasan, kesewenangan, dan impunitas. Kasus-kasus pelanggaran yang melibatkan anggota kepolisian terus bermunculan, sebagian bahkan seperti deja vu.
Salah satu yang paling sering terjadi adalah tindakan represif saat menangani aksi unjuk rasa – yang entah mengapa, nyaris selalu diulang dengan skrip yang sama.
Menurut data Komnas HAM, sepanjang 2024, Polri menduduki peringkat atas sebagai lembaga negara yang paling banyak diadukan, dengan lebih dari 660 pengaduan.
Sementara itu, KontraS mencatat dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, terjadi 136 tindak kekerasan yang dilakukan polisi. Dari jumlah itu, ada 36 kasus penyiksaan, yang menyebabkan 11 orang tewas dan 84 luka-luka.
Data ini menunjukkan bahwa Polri bukan bekerja untuk masyarakat melainkan untuk kekuasaan. Karena ketika masyarakat sedang berhadapan dengan pemerintah dalam bentuk aksi unjuk rasa, maka yang terjadi, aparat melakukan tindakan represif kepada pengunjuk rasa. Padahal masyarakat menginginkan pengunjuk rasa dirangkul bukan dipukul.
Masyarakat sebenarnya sudah lama mengidam-idamkan institusi Polri dengan pelayanan publik yang manusiawi. Bukan sekadar tema, tetapi tindakan hukum yang adil, pemberantasan praktik pungli dan kekerasan, respons cepat terhadap laporan masyarakat.
Itu yang membuat Polri terasa hadir di hati, bukan hanya hadir di baliho atau stiker pos kamling. Karena pada akhirnya, institusi yang besar adalah institusi yang mau terus belajar dan mendengar.
Tentu, tidak adil jika semua beban ditumpuk ke pundak Polri. Masyarakat juga harus ambil bagian. Harus berani melapor saat melihat pelanggaran, dan ikut menjaga lingkungan dari konflik, hoaks, atau ancaman. Tapi peran aktif masyarakat hanya mungkin terjadi kalau masyarakat percaya bahwa laporan mereka didengar, aduan pun segera ditindak.
Polri adalah milik rakyat, bukan milik pemerintah, bukan milik elit, apalagi milik kekuasaan. Ketika institusi ini memosisikan diri sebagai pelayan publik, maka yang dilayani seharusnya adalah seluruh masyarakat tanpa pandang bulu.
Karena itu, hari Bhayangkara seharusnya bukan hanya seremoni. Tapi refleksi. Bahwa saat ini rakyat butuh polisi yang hadir bukan hanya saat kampanye, tapi juga saat listrik padam, motor hilang, atau ketidakadilan terjadi. Dengan sumber daya sebesar itu, dengan kewenangan seluas itu, seharusnya tak sulit bagi Kapolri untuk menegakkan disiplin aparatnya di rumahnya sendiri?
Kepercayaan publik adalah modal sosial paling mahal yang dimiliki Polri. Untuk menjaganya, transparansi dan akuntabilitas bukan sekadar slogan, tapi keharusan. Sudah waktunya institusi ini bersih dari praktik backing tambang ilegal, perjudian, dan bentuk-bentuk pelanggaran hukum lainnya.
Meski sering disebut sebagai “oknum”, tetapi sulit rasanya bagi publik untuk memisahkan tindakan itu dari seragam dan institusi yang melekat padanya, apa lagi jika disandingkan dengan jargon “Presisi”.
Mari bersama menjaga Polri. Bukan dengan memujinya terus-menerus, tapi dengan mengingatkannya saat mulai lupa arah. Karena bangsa yang kuat bukan bangsa yang hanya memuji aparat, tapi juga bangsa yang membangun kepercayaan berdasarkan keadilan dan kejujuran. “Selamat Hari Bhayangkara ke-79”. (*)
Bandarlampung, 1 Juli 2025