Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Politik Korban

June 7, 2025 06:41
IMG-20250607-WA0023

Oleh ReO Fiksiwan

“Di mata otoritas – dan mungkin memang benar – tidak ada yang lebih mirip teroris daripada orang biasa.” — Giorgio Agamben (83), What is Apparatus (2009).


HATIPENA.COM – Konsep aparatus dalam teori eksekutor negara „yang politis“ dan sekuler, tumbuh sebagai diktum dari filsafat politik Louis Althusser dan Giorgio Agamben.

Pada 1980, berendus rumors berat. Sosok aparatus misteri, bernama Petrus, muncul beroperasi, cekat dan lesat, mengeksekusi para bromocorah seantero Indonesia.

Yuk, kembali ke memori politik 45 tahun silam.

Mereka, para Petrus, Penembak Misterius, dengan gesit mengeksekusi tanpa jejak para bromocorah. Tubuh-tubuh mereka bergelimpangan dengan darah terbungkus dalam karung atau membeku di pinggir kali atau di sudut gelap pinggiran kota.

Praktek masif Petrus viral dan menggetarkan jagat publik dan kaum penjahat. Mereka lari lintang pukang. Pulang ke kampung atau sembunyi ke hutan-hutan pulau Jawa.

Atraksi misterius ini memukau seluruh publik. Mengguncang psikologi massa dan para penjahat kaliber, tentunya. Para gali, istilah keren preman ketika itu.

Fiksinya, bisa diunduh dari lagu Sugali (1984), Iwan Fals:

“Ramai gunjing tentang dirimu
Yang tak juga hinggap rasa jemu
Suram hari depanmu
Rasa was-was, mata beringas
Menunggu datang peluru yang panas
Di waktu hari naas….”

Faktanya, baru terungkap dari buku yang ditulis sastrawan Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana dalam “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” (1989), terbitan Lamtoro Gung Persada.

Petrus, “Tindakan saya untuk menertibkan rasa aman warga negara dari gangguan para penjahat yang keblinger…,” begitu konklusi di buku itu.

Ditilik dari antropologi politik, politik ritual korban merupakan kebudayaan destruktif purba.

Antropolog, James George Frazer dalam “The Golden Bough” (1922) beranggapan politik primitif ritual korban punya dua versi.

Pertama, versi Raja:
“Imam yang membunuh pembunuh dan memegang jabatan sebagai penerusnya, harus selalu membunuh pendahulunya dengan cara yang sama.”

Kedua, versi kesuburan (cultivasi):
“Hewan suci tersebut disembelih agar kehidupan sucinya dapat dikomunikasikan kepada suku tersebut.”

Dalam versi mutakhir, Giorgio Agamben, filsuf Italia, mengajukan konsep politik korban dalam “Homo Sacer” (1995).

Menurut kaidah Homo Sacer, riset antropologi politik purba Romawi, yang dirujuk Agamben, menjelaskan bagaimana kekuasaan politik dapat mengubah individu atau kelompok menjadi “korban” yang dapat dibunuh tanpa konsekuensi hukum atau moral.

Homo Sacer, wujud dari individu yang berada di luar perlindungan hukum aparatus dan dapat menjadi sasaran kekerasan tanpa konsekuensi.

Dalam Lex Romanum kuno, yang merujuk pada individu yang dapat dibunuh tanpa konsekuensi hukum, penjelmaan dari norma ritual Homo Sacer.

Agamben berpendapat bahwa konsep ini masih relevan dalam masyarakat modern, di mana kekuasaan politik dapat menciptakan “zona pengecualian”, State of Exception (2003); dan individu atau kelompok dapat diperlakukan sebagai Homo Sacer (Bandingkan, Agus Sudibyo, Kedaruratan dan Demokrasi,2019).

Dengan kata lain, perspektif Homo Sacer sebagai ide politik korban, bisa diacu dari kasus penembakan misterius, Petrus, pada tahun 1980-an.

Pada masa itu, pemerintah Orde Baru melakukan kampanye penembakan terhadap individu yang dianggap sebagai “preman” atau “penjahat”, tanpa proses hukum yang jelas.

Banyak korban penembakan yang tidak diketahui identitasnya dan tidak ada konsekuensi hukum bagi pelaku. Mayat-mayat mereka dibiarkan teronggok. Tak diurus. Semua keder. Takut dituduh sekutu korban Petrus.

Karena itu, korban penembakan modus Petrus dapat dianggap sebagai Homo Sacer. Alasannya, mereka berada di luar perlindungan hukum dan dapat dibunuh tanpa konsekuensi.

Zona pengecualian Pemerintah Orde Baru ketika itu menunjukkan, kekuasaan politik dapat melakukan kekerasan tanpa konsekuensi.

Para korban Petrus vis a vis Marsina, Munir, Udin, Kasus Tanjung Priok, Widji Thukul, 14 aktivis
Reformasi hingga KM50 maupun Brigadir Yosua, menurut teori politik korban Agamben, telah diubah status dan asasi personal ke Homo Sacer.

Menilik kasus-kasus pembunuhan politik atau politik korban, konsep Homo Sacer memiliki implikasi politik yang sangat signifikan.

Ada atau tanpa alasan, verbal maupun non verbal, rasionalitas nekrofilias kekuasaan politik dengan mudah menciptakan ritual politik korban yang dapat dibunuh tanpa konsekuensi.

Walhasil, memahami konsep Homo Sacer, model dan modus Agamben, kekuasaan politik dapat melakukan kekerasan tanpa konsekuensi mengindikasikan, politik korban mengandung alasan sekuler-profan primitif sembari menyaru sebagai modernisasi kepalsuan teologi politik Carl Schmitt. (*)