Arif Afandi
HATIPENA.COM – Jujur saya agak risau dengan diskursus politik yang terjadi belakangan ini. Karena yang di permukaan lebih banyak diskursus yang saling mengancam. Dengan bahasa kasar.
Bagi generasi yang pernah mengalami masa Orde Baru, suasana semacam ini pasti mencemaskan? Mengapa reformasi politik tak berhasil membangun peradaban politik yang lebih baik? Bahkan kembali ke masa sebelumnya.
Indonesia, sebagai negara dengan warisan budaya luhur dan falsafah Pancasila, seharusnya menjadikan politik sebagai ajang adu gagasan. Bukan ajang saling mengintimidasi.
Sayang, retorika kekerasan justru kian dianggap wajar. Bahkan dijustifikasi atas nama perjuangan atau pembelaan terhadap tokoh dan identitas politik tertentu.
Ini jelas tak hanya mencederai semangat demokrasi. Tapi juga mengikis fondasi peradaban kita: rasa hormat, gotong royong, dan kesantunan.
Bahasa itu cermin jiwa bangsa. Saat bahasa politik dipenuhi caci maki dan ancaman, maka yang rusak bukan hanya moral para pelakunya. Tapi juga persepsi publik tentang politik itu sendiri.
Kita bisa tak lagi melihat politik sebagai jalan mulia. Tapi medan konflik yang kotor dan berbahaya. Ini krisis yang diam-diam mematikan harapan kolektif akan masa depan politik yang lebih dewasa dan bermartabat.
Saatnya elemen bangsa—elite politik, media, tokoh masyarakat, dan warga biasa—merevitalisasi ruang publik dengan semangat peradaban. Kritik tetap penting. Perbedaan tetap sah. Tapi harus dalam bahasa yang membangun. Bukan meruntuhkan.
Demokrasi yang sehat tidak anti-konflik. Tapi menempatkan konflik dalam koridor etika dan hukum. Bukan intimidasi dan kekerasan.
Membangun peradaban tidak dimulai dari mimbar besar. Tapi dari kesadaran kecil dalam memilih kata, menyikapi lawan, dan merawat perbedaan.
Politik bukan soal siapa yang paling keras. Bukan siapa yang paling lantang. Bukan siapa yang mampu mengerahkan masa.
Politik adalah soal siapa yang paling beradab. Soal siapa yang masih tetap waras. Di tengah arus deras berbagai kegilaan yang ada. (*)
Ayo lurrrr….kembali waras