Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pos Ronda di Genggaman

February 26, 2025 19:28
IMG-20250226-WA0096

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Dulu, malam-malam di pos ronda adalah pertemuan sunyi yang riuh.

Secangkir kopi, kepulan asap rokok, dan obrolan ngalor-ngidul tentang politik, harga sembako, atau sekadar kabar angin dari tetangga sebelah.

Kini, pos ronda tak lagi berbentuk gubuk bambu di ujung gang. Ia menjelma menjadi layar kecil di genggaman, berpendar di WhatsApp grup, meniadakan jarak, menghapus batas ruang, dan mengubah obrolan menjadi sekadar deretan huruf-huruf tanpa ekspresi.

Di grup-grup itu, orang bertukar pikiran, berbagi ilmu, merajut kebersamaan yang tak kasat mata, persis di pos ronda, saling bersahut, saling menentang, saling tertawa.

Tapi di saat yang sama, banyak pula yang tak mencari teman, melainkan musuh. Ngeyel, mau menang sendiri, tak mau mendengar apa kata yang lain. Akhirnya satu, satu menjauh.

Kata-kata yang tak terucap berubah menjadi senjata, fitnah melayang seperti nyamuk di musim hujan, dan etika komunikasi pun tergilas oleh jemari yang menari-nari tanpa berpikir.

Yang jauh terasa dekat, yang dekat menjadi asing. Bukannya mempererat persaudaraan, justru menambah daftar orang yang tak lagi ingin kita sapa, yang tak saling menyukai.

Lebih ironis lagi, obrolan itu seringkali berlandaskan informasi yang tak jelas ujung pangkalnya.

Media sosial telah menjelma menjadi kitab suci baru, lebih dipercaya daripada media mainstrem yang punya aturan, kode etik, dan pertanggungjawaban.

Di dunia paradoks ini, yang benar bisa kalah oleh yang viral. Yang punya kepentingan bisa lebih didengar daripada yang mencari kebenaran.

Lucunya, kita sering kali ikut serta, dengan ringan mengetuk jempol: Tolong diviralkan! tanpa bertanya—benarkah ini, pantaskah ini? Ibu jari langsung saja mengetik dan memencet.

Dan begitulah, pos ronda baru kita. Tak lagi berbatas pada satu tempat, tapi tetap sama riuhnya. Tetap sama gaduh, tetap penuh cerita—hanya saja, tanpa tatapan mata, tanpa anggukan kepala, dan tanpa kehangatan yang nyata.

Lalu, apa solusinya? Sederhana. Jangan biarkan diri tenggelam dalam lautan sampah digital.

Pilih obrolan yang sehat, jauhi perdebatan sia-sia, dan jangan biarkan kepentingan gelap menyesatkan akal sehat yang kini sedang teruji.

Karena pada akhirnya, pos ronda adalah cerminan kita. Jika kita tak bisa menjaganya tetap waras, maka ia tak lebih dari sekadar keramaian kosong—berisik, tapi tak bermakna.(*)

Denpasar, 26 Februari 2025