Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pram Ditolak di Kotanya Sendiri

February 9, 2025 15:11
IMG-20250209-WA0086

Ilustrasi : Meta AI/ Hatipena
Penulis : Tonnio Irnawan

HATIPENA.COM – Peringatan seabad hari lahirnya sastrawan Pramudya Ananta Toer telah dimulai dari Blora , Kamis (6/2/2025). Pram dilahirkan di Blora, kabupaten di Jawa Tengah, 6 Februari 1925.

Selama 3 hari sejak Kamis hingga Sabtu (8/2/2025) para penggemar karya Pramudya berkumpul di Blora merayakan seabad Pram. Perayaan ini akan berlangsung selama setahun di berbagai kota.

Menteri Kebudayaan Kebudayaan Fadli Zon membuka perayaan ini. Untuk menghormati sastrawan ini, pemerintah Blora memutuskan Pramudya Ananta Toer untuk sebuah nama jalan. Sepanjang pengetahuan saya, belum ada jalan bernama Pramudya Ananta Toer. Oleh karena itu keputusan pemerintah Blora menunjukkan bentuk penghargaan terhadap seorang warga kota yang telah mengharumkan Indonesia di dunia.

Usai membuka acara, rencananya menteri akan meresmikan penamaan jalan baru tersebut yang berada di Kelurahan Beran, Kecamatan Blora. Sungguh ironis rencana menteri gagal. Sebagaimana diberitakan Harian Kompas (7/2/2025) rencana itu batal karena ada surat dari Pemuda Pancasila Kabupaten Blora yang keberatan menggunakan nama Pram untuk nama jalan. Menurut ormas pemuda itu, Pram adalah seorang tokoh radikal kiri.

Kita tahu apa prestasi Pram dan apa “prestasi”mereka? Melalui karya – karyanya, Pram telah mengeluarkan wangi harum semerbak untuk bangsanya bukan bau busuk yang bisa disebarkan sembarang orang.

Bagaimana kelanjutan rencana penamaan jalan, apakah sekadar tertunda atau tidak jadi? Sikap keberatan ini seperti mewakili kenyataan bahwa sungguh bangsa ini begitu lemah pengetahuan akan dirinya sendiri. Bangsa yang tidak mengenal dengan baik dirinya sendiri tentu akan digilas rata oleh mesin waktu.

“Pram menjunjung tinggi peran pemuda dalam Reformasi 1998. Tapi, reformasi itu hanya melahirkan pembesar bukan pemimpin. Kegelisahan Pram adalah kegelisahan kita semua,” kata Dhianita Kusuma Pertiwi, seorang penulis dari Generasi Milenial.

Berita di Kompas ditutup dengan alinea terakhir :
Kegelisahan yang dia maksud (Dhianita) mewujud nyata dengan penolakan nama jalan oleh organisasi yang menyebut diri mereka pemuda. Bukan “pemuda” semacam itu yang diidealkan Pram melainkan pemuda terpelajar layaknya tokoh Minke dalam novel “Bumi Manusia” yang terinspirasi dari kisah hidup penulis Tirto Adhi Suryo. (*)

Selamat Hari Minggu (9/2/2025)