Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Suatu pagi yang cerah, Profesor Stella Christie – seorang cendekiawan, wakil menteri, dan penganut aliran statistik kaffah – datang membawa kabar cerah tentang Timnas Indonesia. Ia tak hanya membawa harapan, tapi juga membawa angka-angka yang dibacakan seperti mantra tolak bala.
Peluang lolos langsung ke Piala Dunia? 1,3 persen. Kalau lewat jalur tidak langsung – lewat babak ke-4 dan 5. Peluang di sini 80,8 persen. Tapi jangan senang dulu, karena kita masih harus menang di pertandingan berikutnya. Kalau kita menang? Oke. Tapi menang pun masih probabilitas 50 persen. Maka dikalikan sajalah: 80,8 x 0,5 = 40,4 persen.
Jadi kalau disatukan semua, total peluang kita ke Piala Dunia, katanya 41,7 persen. Wah, lumayan ya. Angka yang cukup tinggi, jika dibandingkan dengan peluang gaji naik di tengah harga beras yang tak kunjung turun. Atau hampir sama dengan peluang hujan turun pas kita sudah nyuci semua baju dan ngejemur tanpa jemuran cadangan.
Profesor Stella menyemangati rakyat, “Jangan khawatir, kita masih punya peluang! Sains itu penting, data itu penting. Mari kita membumikan sains dan mensainskan bumi.”
Sampai di sini kita hampir lupa kalau sepak bola itu main pakai kaki, bukan pakai kalkulator. Lalu tibalah kita pada pertandingan hidup dan mati lawan Tiongkok, Kamis (5 Juni 2025) malam pukul 20.45 WIB. Menurut hitung-hitungan sains, kalau kita menang lawan Tiongkok, maka peluang kita 50,6 persen. Sedangkan kalau seri, maka peluang kita turun sedikit menjadi 41,8 persen
Tapi kalau kalah? Silakan pamit dari mimpi indah, karena hanya tinggal 10,4 persen. Jadi pesannya jelas, “Menang syukur, seri pun ikhlas, asal jangan kalah.” Kalau sampai kalah, ya mohon maaf, prediksi profesor berubah jadi prediksi mbah dukun yang baru gagal buka praktik.
Tapi tunggu, ada twist. Ternyata nasib kita tak hanya ditentukan kaki-kaki para pemain naturalisasi belaka, tapi juga… pertandingan Bahrain vs Arab Saudi! Lah, kok jadi begini?
Menurut hitungan Stella, kalau Bahrain menang lawan Saudi, maka peluang Indonesia turun ke 33,7 persen. Sedangkan kalau seri, menjadi 40,9 persen. Tapi kalau Saudi menang, maka kita optimistis, naik lagi jadi 44,5 persen.
Jadi untuk sementara, demi kebaikan bangsa dan negara, kita harus doain Saudi menang. Iya, Saudi yang biasanya kita protes karena kirim wasit nyeleneh, sekarang jadi harapan bangsa. Dunia memang panggung satire yang kadang kelewat kreatif.
Profesor Stella juga menyebut bahwa pertandingan Bahrain vs Saudi Arabia lebih menentukan nasib kita. Luar biasa. Jadi kita ini sebenarnya bertanding atau berdoa rame-rame sambil bakar kemenyan biar Saudi menang? Apakah kita akan mengirim dukun dari Banyuwangi untuk meniup bubuk cabe ke arah gawang Bahrain?
Tapi Tunggu… emang pemainnya masih fokus? Di tengah semua kalkulasi itu, kita lupa nanya satu hal penting, “Apakah pemain dan pelatih Timnas Indonesia bisa benar-benar fokus?”
Gimana mau fokus, coba? Baru saja masuk babak pertama dimulai, pikiran pemain sudah melayang kemana-mana. Bayangkan kalau seorang gelandang bertahan lagi duel bola di tengah lapangan, tapi di otaknya masih mikir, “Aduh, kontrak gue belum cair, BPJS anak belum aktif, dan eh, KPK nangkep lagi pejabat yang nyangkut di federasi.”
Mau lolos Piala Dunia? Bisa. Tapi pertama-tama, lolos dulu dari krisis ekonomi, tekanan politik, dan mental korban netizen dan meme bola yang lebih kejam dari komentator TV.
Ayo Indonesia! Kita memang berat. Tapi siapa tahu, dari negara yang penuh beban ini, justru lahir generasi pemain yang sudah terlatih menghadapi tekanan sejak kecil.
Pelatihnya sendiri mungkin pas briefing sambil mikir, “Kalau kalah, saya disuruh mundur nggak ya? Atau dipecat kayak pelatih Shin Tae-yong?”
Beban di kepala pemain bukan cuma lawan Jepang atau Tiongkok, tapi juga beban hidup sebagai warga negara yang tahu tiap tahun APBN defisit, harga sembako naik, dan jalan desa masih bolong. Padahal katanya, “Akan diperbaiki bulan depan.”
Jadi jangan heran kalau pemain kita mengejar bolanya kurang greget. Bukan karena malas, tapi karena mental sudah capek duluan. Belum mulai main aja, tekanan publik udah kayak final piala dunia.
Sekarang mari kita bicara soal postur dan stamina. Rata-rata tinggi pemain kita itu sekitar 172 – 173 cm. Lawan kita? Jepang, Korea, Australia, dan tim Arab semua di atas 180 cm. Belum ketemu Eropa, bisa-bisa barisan pemain depan kita kayak lagi nyelonong masuk kelas SMA waktu masih SD.
Kalau bola melayang di udara, peluang kita rebut bola itu setara dengan peluang dapat kursi kosong di KRL pas jam pulang kantor. Alias, nyaris nggak ada.
Dari segi stamina juga beda jauh. Di menit 60 pemain lawan masih lari seperti iklan sepatu sport. Pemain kita udah ngos-ngosan seperti napas kretek yang habis lari dikejar anjing gila.
Kenapa? Karena program latihan kita mungkin serius, tapi sistem pendukungnya masih hobi trial and error. Gizi belum optimal, jadwal liga nggak menentu, wasit lokal suka halu, dan federasi sibuk mikirin pemilu ketimbang pemulihan cedera pemain.
Jangan tanya soal pengalaman internasional. Lawan kita sudah 7 kali tampil di piala dunia. Kita? Baru ngeliat logo piala dunia dari feed Instagram FIFA.
Mau diserahkan ke statistik pun, bola tetap bundar. Persentase hanya angka, tapi di lapangan yang beraksi adalah kaki, kepala, dan kadang keberuntungan – yang kalau lagi ke laut, ya ke laut semua.
Dan kalau nggak bisa lolos piala dunia kali ini, ya nggak apa-apa. Yang penting kita jangan cuma ngandelin statistik dan berharap keajaiban. Kita juga harus berhenti percaya bahwa kalau menang, itu karena “doa rakyat Indonesia”. Soalnya kalau kalah, rakyatnya juga yang dimaki di kolom komentar.
Jadi… Tetap semangat, Timnas. Kita rakyat kecil di rumah siap mendukung. Asal jangan bikin kita terlalu sering bilang, “Yah, ya udah lah. Namanya juga Indonesia.” (*)