Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

PSSI, Dewa Olympus yang Terpeleset

January 7, 2025 18:48
IMG-20250107-WA0083

Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

DI ATAS langit yang penuh doa dan harapan, berdirilah PSSI, dewa sepak bola Nusantara. Tangan mereka menggenggam peta mimpi, mulut mereka penuh janji. Tapi, langkah mereka teramat sering tersandung batu yang diletakkan sendiri.

Kemarin, sebuah petir menyambar jagat bola. Shin Tae-yong, nahkoda timnas yang membuat kita lupa sejenak betapa beratnya hidup, dipecat. Ya, pemecatan. Kata yang sudah lelah kita dengar, tapi tetap terasa seperti hujan deras di tengah upacara bendera.

Lalu datanglah Ultras Garuda Indonesia, para ksatria tribun yang tak hanya bernyanyi tetapi kini juga menulis. Mereka, dengan pena tajam dan amarah tertahan, menyusun surat. Surat yang, entah bagaimana, terasa seperti puisi perang di zaman Majapahit.

“Wahai PSSI,” tulis mereka, “apa yang kalian lakukan? Apa alasan kalian mematahkan panah sebelum dilepaskan?”

Mereka meminta alasan. Sebuah alasan yang, jika boleh jujur, sering kali kabur seperti gol offside yang tetap disahkan. Transparansi, kata mereka. Sesuatu yang di negeri ini terasa lebih langka daripada unicorn di hutan Kalimantan.

Audit independen diminta. Sebuah harapan agar cermin besar diletakkan di hadapan PSSI, supaya mereka tahu siapa yang sebenarnya perlu dievaluasi. Tapi, cermin mungkin terlalu jujur untuk dinikmati.

Lebih jauh lagi, mereka menyerukan reformasi. Kata besar dengan makna yang sering kali menguap di ruang rapat ber-AC. “Bersihkan tubuh PSSI,” pinta mereka. “Hapus segala kerak kepentingan yang menempel seperti jelaga.”

Mereka bicara tentang pelatih baru. Bukan sembarang pelatih, tapi sosok yang bisa menghidupkan mimpi yang baru saja direnggut. Karena jika hanya ingin coba-coba, kenapa tidak saja sekalian tunjuk selebgram untuk jadi pelatih? Setidaknya konten akan meriah.

Akhirnya, ultimatum pun dijatuhkan. “Kami akan mengkritik keras,” kata mereka. Sebuah ancaman yang terasa seperti angin badai. Mungkin PSSI akan mendengar. Mungkin tidak. Tapi satu hal pasti, suporter Indonesia tidak pernah lupa.

Wahai PSSI, dengarkanlah suara tribun ini. Mereka bukan sekadar penonton. Mereka adalah darah dan denyut nadi sepak bola Indonesia. Jangan biarkan surat ini menjadi angin lalu yang hilang di lorong kantor kalian. Jangan biarkan kepercayaan ini makin rapuh.

Karena jika tidak, wahai PSSI, kalian akan belajar satu pelajaran keras, yang menggenggam bola adalah dewa, tetapi yang menjatuhkan dewa adalah suporter.

#camanewak